Hari Kebangkitan Nasional setiap tahunnya dirayakan pada tanggal 20 Mei. Tapi, jujur saja, jika nggak ada tugas menulis dari Kompasiana ini, saya nggak begitu paham apa itu Hari Kebangkitan Nasional selain ingatan samar saya bahwa Hari Kebangkitan Nasional ditetapkan atas berdirinya Boedi Utomo, tepat hari ini 112 tahun yang lalu.
Di pelajaran sejarah saat sekolah dulu sih tentu saja dipelajari ya. Tapi ya mohon maaf, namanya ingatan manusia (baca: saya) terbatas, jadinya nggak begitu mengenal sejarah terbentuknya hari penting ini. Lagipula, peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini tidak "dirayakan" dengan cara menjadikannya sebagai hari libur. Dan, dibandingkan hari besar lainnya, peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini relatif sepi terlebih jika dibandingkan dengan peringatan Hari Kemerdekaan.
Apalagi, sehari-hari saya kerja di sektor swasta. Beda dengan rekan-rekan saya yang lain yang bertindak sebagai abdi negara (ASN) atau pegawai BUMN/BUMD karena setahu saya ada peringatan khusus terhadap Hari Kebangkitan Nasional ini. Minimal, semangat Hari Kebangkitan Nasional ini diperingati saat apel/upacara pagi. Benar begitu teman-teman?
Sekilas Mengenai Hari Kebangkitan Nasional
Seperti yang saya singgung di atas, Hari Kebangkitan Nasional ini diperingati atas dasar terbentuknya organisasi Boedi Utomo. Sebetulnya, ada satu peristiwa penting lainnya yang kemudian membentuk rangkaian atas Hari Kebangkitan Nasional ini. Peristiwa itu ialah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) di mana kedua peristiwa ini terjadi jauh sebelum Indonesia merdeka namun, semangat meraih kemerdekaan itu kian mencuat atas adanya 2 peristiwa ini.
Kalau saya bilang, organisasi Boedi Utomo ini terbentuk atas dasar keberhasilan mengelola rasa sakit hati. Bagaimana tidak, mereka, orang-orang yang membentuk organisasi ini sangat berani mendobrak sikap pemerintah Hindia Belanda yang waktu itu memecah belah bangsa dengan cara membentuk perbedaan kasta-kasta sosial.
Ialah sejumlah mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang kemudian membentuk organisasi ini. Mahasiswa yang dimaksud ialah Soetomo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, R.Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, R.Mas Goembrek, Soeradji Tirtonegoro dan Soewarno. Mereka ini bersekolah di kampus khusus pendidikan dokter pribumi di Batavia saat itu.
Uniknya, pada awal terbentuk, organisasi yang namanya ternyata dicetuskan oleh Soeradji Tirtonegoro ini hanya berangotakan para priyayi. Baru setelah 12 tahun terbentuk, barulah organisasi ini menerima anggota dari kalangan biasa.
"Jika pendiri organisasi ini lumayan banyak, kenapa hanya 4 orang saja yang kemudian dikenal sebagai tokoh pelopor Hari Kebangkitan Nasional?" nah ini dikarenakan jalan panjang berbagai peristiwa perjuangan hingga kemudian Indonesia mencapai kemerdekaan. Saya akan mengulas singkat ke-4 tokoh yang dimaksud.
Soetomo (1920-1981)
Menilik tanggal lahir beliau jelas bahwa Soetomo, salah satu mahasiswa STOVIA yang membentuk Boedi Utomo adalah orang yang berbeda dengan Soetomo yang saya maksudkan ini. Nah, Soetomo yang ini lebih dikenal dengan nama Bung Tomo yang dikenal dengan perannya melawan kembalinya penjajahan Belanda melalui tentara NICA yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang kelak dikenang sebagai hari Pahlawan.
Anak dari Kartawan Tjiptowodjojo --sosok kelas menengah, ini konon masih mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro. Pasca kemerdekaan, Bung Tomo terjun di dunia politik dan pernah menjadi menteri di beberapa pos kementerian seperti Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran, Menteri Sosial dan juga Menteri Tenaga Kerja.
Walau berada di sisi pemerintahan, di tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru sehingga ia sempat ditangkap dan dipenjara selama setahun. Sosok kebanggaan Indonesia ini meninggal di Padang Arafah saat melaksanakan ibadah haji di tahun 1981. Berbeda dengan jamaah lainnya, jenazah Bung Tomo dibawa ke Indonesia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan sesuai permintaannya semasa hidup.
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (1886-1943)