Sebelum berbicara banyak mengenai kenaikan harga Elpiji 12 Kg, ada baiknya kita mengetahui sedikit sejarah bagaimana gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar itu bisa ’disimpan’ ke dalam sebuah tabung. Ternyata, hal ini bermula lebih dari 300 tahun lalu tepatnya ketika antara tahun 1760 hingga 1770 dimana gas alam mulai dikembangkan dari batu bara.
Batu bara sendiri seyogyanya merupakan karbon yang bercampur dengan berbagai kotoran yang jika dipanaskan dalam wadah tertutup rapat tanpa udara (pirolisis) maka kotoran yang terperangkap akan terdorong keluar dalam bentuk asap kotor dan meninggalkan karbon murni. Bertahun-tahun lamanya, asap tersebut dianggap tidak berguna.
Hingga kemudian proses ini dikembangkan oleh William Murdock di tahun 1790 dengan menambahkan penyaring untuk mengurangi bau. Akhirnya gas tersebut digunakan untuk industri pada tahun 1797 dan berkembang pesat di abad ke-19. Walaupun Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang memadai, Indonesia baru memperkenalkan Elpiji kepada masyarakat pada tahun 1970.
Walau begitu, sebagian besar masyarakat masih berada di zona nyaman dengan terus memakai minyak tanah. Akibatnya subsidi pemerintah terhadap minyak tanah kian membengkak sehingga diambillah keputusan besar di tahun 2007 dengan cara mengkonversi minyak tanah ke tabung gas elpiji 3 Kg.
Keputusan ini diambil karena biaya produksi Elpiji lebih murah. Selain itu, untuk satu satuan yang sama, jumlah kalori LPG lebih tinggi dibandingkan minyak tanah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Laboratorium Energi Universitas Trisakti di tahun 2008, biaya untuk merebus air liter Rp.11,6/menit jika menggunakan Elpiji. Sedangkan biaya yang dikeluarkan jika menggunakan minyak tanah adalah Rp.13,8/menit.
Walau begitu, konversi minyak tanah ke gas Elpiji ini bukan tanpa kendala. Distribusi yang belum merata pada saat itu sempat menimbulkan polemik. Terlebih sempat timbul isu bahwa penggunaan gas Elpiji 3 Kg tidak aman dikarenakan seringnya terjadi kasus tabung meledak padahal sebagian besar hal itu terjadi karena masyarakat masih belum menggunakan tabung tersebut dengan benar.
Kini, mendekati di penghujung tahun 2014, polemik kembali muncul takkala Pertamina atas izin pemerintah menaikkan harga Elpiji 12 Kg sebesar Rp.1500/kg-nya. Seperti yang tertulis di situs Pertamina, bahwa kini harga jual rata-rata Elpiji 12 Kg berubah dari sebelumnya seharga Rp.6.069/Kg menjadi Rp. 7.569/kg. Jika ditambahkan komponen biaya lainnya seperti transportasi, filling fee, margin agen dan PPN, maka harga jual di agen menjadi Rp. 9.519/kg atau menjadi Rp.114.300/tabung. Bahkan harga ini masih jauh lebih murah dibandingkan negara Asia lainnya.
Sebagaimana kenaikan harga BBM dan berbagai macam tarif kebutuhan masyarakat lainnya (seperti listrik dan air), kenaikan harga ini tentu saja menimbulkan polemik. Misalnya saja beberapa protes dari pengguna gas Elpiji 12 kg hingga ancaman migrasi ke penggunaan tabung 3 Kg yang disubsidi. Belum lagi bayang-bayang LPG oplosan dimana oknum tidak bertanggung jawab memindahkan isi gas di tabung 3 Kg ke dalam tabung 12 Kg.
Dikarenakan ulah oknum tersebut, seperti yang dilansir situs resmi Kementerian ESDM, Pertamina kembali dirugikan hingga 2,7 miliar setiap bulannya. Butuh tindakan tegas terhadap aksi ini mengingat tindakan tersebut bahkan melanggar 3 UU sekaligus! Yakni UU Konsumen, UU Migas dan UU Mitrologi. Untuk itu perlu peran serta masyarakat dalam mengawasi hal ini. Cara yang paling sederhana ialah harus lebih waspada jika menerima tabung Elpiji yang segelnya sudah rusak. Bila mendapati hal ini, sebaiknya segera lapor aparat desa/kampung untuk ditindaklanjuti hingga ke kepolisian.
Hal lain yang terjadi takkala Pertamina menaikkan harga Elpiji 12 Kg adalah secara tidak langsung hal tersebut menyumbang inflasi 0,1 persen. Walau begitu, kenaikan harga gas Elpiji 12 Kg harus tetap dilakukan dikarenakan antara tahun 2009 hingga 2013, Pertamina merugi hingga 17 Triliun dikarenakan hal ini. Diharapkan, dengan kenaikan harga Elpiji 12 Kg secara bertahap, kerugian Pertamina dapat ditekan hingga menjadi 5,4 Triliun saja.
Sebetulnya dengan harga segitu pun, harga gas Elpiji 12 Kg masih lebih murah dari harga keekonomiannya. Hal ini berdasarkan data rata-rata CP Aramco (perusahaan minyak global dan jadi pemimpin dunia dalam hal eksplorasi, produksi, penyulingan, distribusi dan pemasaran minyak dan gas) y-o-y Juni 2014 sebesar US$ 891,78 per metrik ton. Dengan kurs rupiah Rp. 11.453/ 1 US$ ditambah biaya lainya maka harga keekonomian Elpiji 12 Kg saat ini seharusnya menjadi Rp.15.110/Kg atau Rp.181.400/tabung.
Dengan fakta-fakta yang ada, sebetulnya sudah tiada ada alasan lagi bagi Pertamina dan Pemerintah untuk tidak menaikkan harga Elpiji 12 Kg non subsidi. Hal ini dilakukan untuk menekan kerugian Pertamina dengan harapan penjualan Elpiji 12 Kg dapat menguntungkan dimana jika hal itu terjadi masyarakat pula yang diuntungkan jika salah satu BUMN ini untung. Dengan begitu keuntungannya bisa disalurkan lagi oleh Pemerintah dalam bentuk lain. Selain itu Pertamina sendiri pun bisa menyalurkan bantuan yang signifikan melalui program CSR-nya.
Secara psikologis, kecendrungan muncul polemik terhadap suatu kenaikan harga kebutuhan masyarakat akan selalu ada. Walaupun sebetulnya penggunaan Elpiji di masyarakat menurut Nielsen menempati posisi paling rendah dari daftar pengeluaran masyarakat per bulannya. Apalagi dengan kenaikan bertahap dan tidak terlampau jauh, sebetulnya polemik ini tidak perlu ada.
Apalagi sasaran penggunaan Elpiji 12 Kg bahkan sudah diatur oleh Peraturan Menteri ESDM No.26 tahun 2009 bahwa pendistribusian LPG Kg hanya diperuntukkan untuk rumah tangga dengan belanja maksimal Rp.5.000.000/bulan. Sehingga, masyarakat kecil seharusnya tidak perlu khawatir karena tetap dapat menggunakan tabung Elpiji 3 Kg yang disubsidi. Sedangkan kenaikan harga tabung 12 Kg sebetulnya tidak terlalu dirasakan signifikan bagi pemakainya jika peruntukkannya sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM tersebut.
Lantas bagaimana agar tabung Elpiji 3 Kg dapat diregulasi dan didistribusikan kepada masyarakat yang berhak? Pertamina sudah memperkenalkan program Sistem Monitoring Penyaluran LPG 3 Kg (SIMOL3K) dimana sebelum program ini diluncurkan, Domestic Gas sudah terlebih dahulu melakukan pendataan ulang serta validas data pangkalan LPG dan juga memberikan pelatihan program SIMOL3K bagi para agen. Diharapkan, penggunaan Elpiji tepat sasaran dan dapat diawasi dengan baik.
Terlepas dari itu semua, melalui pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa sesungguhnya polemik atas keputusan kenaikan harga Elpiji 12 Kg ini tidak perlu terjadi karena hal itu dilakukan semata-mata untuk mengurangi dampak negatif yang lebih besar yakni kerugian Pertamina. Diakui atau tidak, hidup akan terus maju dan hal ini akan berbanding lurus dengan kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat, termasuklah kenaikan harga Elpiji. Satu yang pasti, sebuah kebijakan tidak akan menyenangkan semua pihak. Dan yakini bahwa kebijakan yang diambil tentu setelah melalui banyak sekali pertimbangan dan dipikirkan dengan matang. Lalu, kenapa masih harus dijadikan polemik? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H