Lihat ke Halaman Asli

Rinduku Pada S.R Wijaya

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya hanya ada beberapa alasan bagi saya untuk menyukai Kompasiana. Yup, selain adanya Sang Dewa Bujuk-Pikir (EA-Erianto Anas) juga ada seorang lagi yang membujuk saya untuk merubah hitam rutinitas menjadi semburat warna biru. Ya siapa lagi selain Dewa Puisi&Fiksi -menurut saya lho, Lik!- Dia ialah…Danny alias S.R Wijaya.

Ya, mas-mas inilah yang menjadikan Kompasiana bagi saya adalah hunian yang terang benderang.  Satu mengajakku untuk memeras pikir hingga lumat sementara satunya lagi membuatku berimaginasi dalam alam antah. Kadang surga, hujan, kenangan,  maupun alam kematian (tapi yang jelas tulisannya berbonus lagu-lagu klasik lho!). Hehehe…ini serupa cita-cita kecil dunia pendidikan ya? Satu sisi otak kiri, sementara sisi lainnya adalah otak kanan. Sungguh kehidupan yang bulat penuh –waktu itu.

Ah..ini malam tiba-tiba diri menjadi rindu tulisan-tulisannya mas S.R Wijaya, Sampeyan kangen apa ora, Lik?

Sebuah karya S.R Wijaya tentang Ibu, Sir yang Sederhana, Hmm…indah sekali bukan? jarang sekali lho, ada penulis yang begitu indah menuliskan cerita mengenai sosok ibu- benar bukan? Paling-paling hanya satu atau dua paragraf kemudian ambruk dan berapologi ” Kasih kita pada Ibu, lebih baik kita wujudkan dalam perbuatan nyata”! Bwehhehehe…cuing! Tapi ditangan beliau..inilah: sihir kata yang bicara..

Atau tentang undangan kematiannya yang mengagetkan banyak kompasianer waktu itu? Hehehe, aseeeem, kreatif banget, Lik! Tulisan yang benar-benar hasil perenungan yang matang. Ini adalah sepenggal dari Pamit Pejahnya (Saya tak hendak pura-pura merendah. Saya memang manusia tak penting yang belum bisa berdaya guna bagi orang banyak. Kerjanya hanya menyampahi bumi, hidup di menara gading yang sombong sembari membenar-benarkan diri melulu saban menyakiti makhluk lain. Dosa saya menggunung sekali. Karena itu saya menuliskan surat perpisahan ini, Saudara-saudariku---Pada saat Saudara-saudari membaca surat ini abu tubuh saya mungkin telah terapung-apung dan terbenam ke segenap penjuru sesuai permintaan terakhir saya untuk diperabukan dan dilarung di keluasan-kebiruan Pasifik. Janggal, memang. Namun saya mencintai samudera itu entah mengapa. Mungkin pada inkarnasi lampau saya seekor lumba-lumba. Lambaikanlah tangan jika Saudara-saudari terbang melintas. Saya akan bersyukur sekali bila serpih halus tubuh saya nun jauh di bawah sana bisa mengingatkan Saudara-saudari akan isyarat kesementaraan. Silakan menziarahi perairan mana pun dalam hidrosfer tunggal ini. Semua samudera dunia saling bertaut menjadi bejana raya yang memang bertugas mengurai sisa-sisa kematian.) Tulisanmu campur kenthir, ya,Lik!hahaha...

Buih...sangat menginspirasi!

Lelaki yang kian menua itu kini berjalan seperti biasa dan menampik segala gelombang deras.Menganggap kenangan layaknya sirkus. Telah diyakinkannya diri bahwa setiap langkah tertempuh bukan menggerakkan tubuhnya ke ufuk lepas. Melainkan justru bulatan bumi yang bergulir mundur oleh kakinya. Seperti akrobat di atas bola.

Tapi, kemana ya perginya Mas Danny (S.R. Wijaya) atau jangan-jangan pejah beneran?Whooiii, aku kangen tulisane sampeyan, Mas!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline