Satu hari di salah satu stasiun televisi swasta.
Wajah Owner stasiun televisi swasta ini nampak memerah. Beberapa kali menghubungi pemimpin redaksi (pemred) melalui smartphone, tetapi tak berhasil. Rupanya Sang Pemred ogah mengangkat. Lucunya, bukan takut pada Owner itu, malahan Sang Pemred tersenyum, memandang LCD smartphone-nya. Ia sudah tahu, Si Owner pasti marah dan meminta paket berita yang sedang tayang di layar kaca, di-drop (baca: tidak ditayangkan).
Awal kemarahan, ada sebuah liputan yang mengkritisi produk perusahaan milik salah seorang konglomerat. Kebetulan konglomerat ini sedang menyaksikan tayangan tersebut. Agak kecewa, konglomerat menghubungi Si Owner televisi swasta yang berlokasi Jakarta. Mendapat info dari sang konglomerat, Si Owner langsung menghubungi Pemred sebagai penanggung jawab pemberitaan. Sayang, usaha Si Owner tak berhasil. Paket berita sudah terlanjur tayang.
Beberapa jam kemudian.
"Hape loe kenapa?! Kok nggak diangkat?!" ujar Si Owner dengan nada tinggi pada Pemred.
"Maaf pak, hape saya tadi saya tinggal di ruangan. Lagi di-charge," Pemred memberi alasan.
"Elo dan redaksi mau nggak gajian?!" tanya si Owner.
"Lho, kenapa pak?" Pemred pura-pura tak tahu penyebab kemarahan Owner.
"Kenapa lo tayangin berita soal produk...(sensor) itu?! (Sensor) itu kan lagi jadi sponsor utama tv kita?! Dia sudah ngasih duit banyak ke kita..."
Sebagai jurnalis, Pemred tentu punya idealisme. Idealisme yang berdasarkan hati nurani seorang jurnalis, yakni fakta harus diangkat. Apalagi fakta yang diketahui oleh jurnalis, perlu diinfokan kepada masyarakat secara luas. Fakta tak boleh ditutup-tutupi, hanya lantaran produk tersebut beriklan di media tersebut. Kepentingan masyarakat lebih utama, daripada ketentingan segelintir orang, apalagi satu konglomerat.
Pemred itu telah berbohong pada Owner, tetapi telah "menyelamatkan" masyarakat, dengan menyebarkan fakta. Saat itu fakta yang harus diberitakan adalah, bahwa produk yang diberitakan, telah tercemar zat yang tidak halal. Meski akhirnya Pemred ini menyerah, yakni tidak menayangkan paket berita lagi tentang produk tersebut, namun "keberanian" Pemred saat itu, sungguh luar biasa. Banyak penonton jadi mendapat info mengenai produk tersebut.
***
Memang, sebuah media tak bisa menghindari conflict of interest pada klien yang menjadi sponsor di medianya. Jika mau tetap mendapat asupan dari sponsor (baca: duit iklan), maka wajar jika media harus berbaik-baik hati dengan sponsor tersebut. Di televisi, jika ingin Si Sponsor mem-booked spot-spot iklan atau menjadi main sponsor, ya jangan coba-coba membuat paket berita atau program, yang mengkritisi sponsor tersebut.
Namun, jurnalis seharusnya kritis. Kritis pada setiap persoalan. Sekali lagi, fakta tak boleh disembunyikan. Sebab, warga atau penonton harus diselamatkan, melalui info yang benar (baca: bukan hoax), dalam konteks ini liputan berita. Namun seribu kali sayang, belakangan media banyak yang bungkam, gara-gara takut pada sponsor.
Ada berita kontroversi konglomerat, terpaksa tidak ditulis atau ditayangkan, takut medianya tidak disponsori konglomerat itu. Ada fakta soal minuman ABCD yang mengandung zat terlarang, tidak dingkungkap ke layar kaca. Begitu juga dengan sosok konglomerat hitam, yang kebetulan menjadi blocking program di stasiun televisi tertentu, tak diberitakan. Begitu seterusnya. Wajar? Wajarlah. Hidup televisi swasta dari iklan. Tak ada iklan, karyawan tak gajian. Tak dapat bonus tahunan, atau insentif program bulanan.