Lihat ke Halaman Asli

Ombrill

TERVERIFIKASI

Videografer - Content Creator - Book Writer

Jurnalisme ABS (part 2)

Diperbarui: 12 September 2017   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tulisan saya sebelumnya, Anda sudah mengerti apa itu jurnalisme ABS. Yakni sebuah prilaku jurnalis, dimana idealismenya terpaksa dikubur, demi si "Bapak". Yang penting, "Asal Bapak Senang". Jalan politik dan bisnis si "Bapak" pun mulus.  

Nah, dalam tulisan saya di bagian kedua ini, saya ingin memberikan kisah lagi, prilaku jurnalisme ABS di stasiun televisi. Kisah ini bukan imajinasi atau hoax, tetapi berdasar pengalaman saya. Namun, nama-nama yang ada di kisah di bawah ini -termasuk nama stasiun televisi- adalah fiktif. 

Baik, saya mulai...  

Tahukah Anda? Agar penonton televisi percaya, pemilik televisi mencari lembaga survey yang pro terhadap Walikota A. Hasil data lembaga survey ini selalu dibuatkan grafis dan terus dimunculkan, agar penonton tahu, bahwa Walikota A, layak untuk pilih jadi Gubernur. Padahal, belum tentu responden lembaga survey ini fair. Anda yakin responden yang disurvey objektif? Bagaimana jika yang disurvey adalah anggota parpol si pemilik televisi, sehingga elektablitas Walikota A tinggi?

Oleh karena lembaga survey "berhasil" memenangkan Walikota A sebagai Cagub, maka perwakilan dari lembaga survey ini selalu diundang ke stasiun televisi itu. Wakil lembaga survey ini menjadi narasumber tetap. Setiap ada talk show atau reporter butuh SoT, narasumber ini yang muncul. Meski wajahnya jelek, kepalanya botak, yang penting buat stasiun televisi, wakil lembaga survey ini bisa menjadi corong pencitraan cagub. Meski keakuratan survey dipertanyakan, atau wakil lembaga survey ini di-bully di sosial media, ia tetap harus bermuka tebal untuk tetap konsisten menjadi jurkam.

Nah, sekarang Anda sudah paham kan sekarang, kenapa ada wakil lembaga survey yang selalu langganan muncul di televisi itu-itu saja? Baik, sakarang kita menginjak ke kisah salanjutnya...

Teman, ada siasat agar sebuah televisi terlihat fair di mata penonton. Bagaimana caranya? Mudah, Produser diminta undang dua narasumber dari kubu yang berseberangan. Misal, balik lagi ke contoh Walikota A. Di acara talk show, Walikota A diundang. Sementara pesaingnya, yakni Walikota B juga diundang. Ini dilakukan agar terlihat cover both side. Fair? Eit! tunggu dulu.

Meski dua kubu diundang, tetapi ada pola ketidakberimbangan yang sengaja dilakukan Produser. Sebetulnya tidak 100% kesalahan Produser. Sebab, dalam kasus yang tricky ini, Produser cuma berdasar perintah Executive Producer (EP). EP berdasar perintah Manager. Manager atas perintah Pemred. Pemred atas perintah si "Bapak". Jelas kan urutan perintahnya? Kadang bisa juga perintahnya "melongkap". Pemred langsung ke Produser, tanpa melewati Manager dan EP. Atau bahkan jika si "Bapak" kenal dengan Produser, bisa langsung.

Lalu apa yang dijalankan Produser?

Produser sengaja mengundang penonton ke studio dari kubu Walikota A jauh lebih banyak, dibanding Walikota B. Misal, kapasitas tempat duduk studio 300 orang, maka Produser akan mengundang 200 orang penonton dari kubu Walikota A, sementara jatah penonton untuk Walikota B cuma 100 orang. Fair kah? Silahkan Anda jawab sendiri.

Jumlah penonton yang seimbang, tentu saja mempengaruhi psikologis dari Walikota B dan pendukungnya. Pasti Anda sudah pernah menyaksikan di televisi, saat Debat Presiden atau Debat Gubernur, ada ketidakseimbangan dari segi jumlah penonton di studio. Apalagi Anda yang sempat menjadi penonton di studio, --dimana syuting dilakukan di stasiun televisi, yang pro terhadap Walikota A-- pasti merasakan ketidakberimbangan saat memberikan dukungan (bertepuk tangan atau mengucapkan yel-yel).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline