Lihat ke Halaman Asli

Jalur Maut Pekanbaru - Muaro Sijunjung

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Death Railway merupakan sebutan bagi tiga jalur kereta api yang ada di Asia. Pertama adalah jalur kereta api Bangkok-Rangoon yang mempunyai panjang kurang lebih 415 Km. Kedua jalur kereta api Saketi Bayah di Banten, yang mempunyai jarak kurang lebih 89 Km. Kemudian yang ketiga dan yang akan sedikit dibahas dalam tulisan ini adalah jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Sijunjung yang mempunyai jarak sekitar 220 Km. Ketiga jalur kereta api tersebut dibangun pada saat Jepang menguasai Asia Tenggara dalam kurun waktu tahun 1942 sampai dengan 1945. Ketiga jalur kereta api tersebut dibangun sebagai salah satu strategi dan cara tentara Jepang untuk mempertahankan, meluaskan daerah jajahan mereka dan mempermudah mengeruk sumber daya alam yang ada di Indonesia, khususnya. Jalur-jalur ini mendapat sebutan death railway karena jumlah korban yang meninggal dalam pembangunan jalur ini tidak sedikit.

Jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Sijunjung dibangun oleh Jepang bertujuan menghubungkan bagian barat Sumatera dengan bagian timur Sumatera untuk mempermudah perpindahan pasukan tambahan tentara Jepang yang didatangkan dari Singapura. Selain hal itu, tujuan lain dibangunnya jalur kereta api ini adalah sebagai salah satu cara untuk mengangkut batubara dari Tapui menuju Pekanbaru untuk kemudian dibawa ke Singapura dengan kapal. Jepang bisa membangun jalur ini karena telah mempelajari arsip tentang rencana pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan pantai barat dan timur Sumatera yang tersimpan di Nederlands-Indische Staatsspoorwegen (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda). Pembangunan jalur kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung dimulai pada bulan Maret 1943. Proses pembangunan jalur kereta api ini dilakukan dengan cara memasangkan rel di dua kota titik pembangunan awal, yaitu Pekanbaru dan Muaro hingga bertemu di titik tengah keduanya. Rel-rel yang digunakan didatangkan dari daerah lain, begitu juga beberapa lokomotif didatangkan dari Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).

Hampir sekitar 100.000 romusha yang terlibat dalam proyek ini didatangkan dari Jawa, dan sisanya diambil dari penduduk sekitar serta kota di Sumatera seperti Medan dan Bukittinggi. Selain romusha, pekerja yang terlibat merupakan tahanan perang (Prisoner of War / POW) asal Amerika Serikat, Australia, Belanda, Selandia Baru, dan Inggris yang berjumlah lebih dari 5.000 orang. Sebelum dibangun, jalur kereta api ini telah banyak memakan korban baik dari romusha atau tahanan perang. Para romusha dan tahanan perang telah banyak yang tewas saat perjalanan menuju Padang dan Pekanbaru karena kapal yang membawa mereka menuju kedua kota tersebut tenggelam ditembak kapal-kapal sekutu. Kapal Junyo Maru yang membawa 6500 romusha dan tawanan perang yang diberangkatkan dari Tanjung Priok, tenggelam di barat perairan Muko-Muko Bengkulu setelah ditorpedo oleh kapal selam Kerajaan Inggris HMS Tradewind. Hal itu mengakibatkan sekitar 5620 romusha dan tawanan perang yang ada di kapal itu tewas. Kapal kedua adalah kapal Harukiku Maru yang ditembak di Selat Malaka, dalam pelayaran dari Belawan menuju Pekanbaru.

Para pekerja yang ikut dalam proyek itu sangat menderita, selama membangun jalur kereta api ini. Mereka mendapat perlakuan yang buruk dan kasar dari para tentara Jepang,  belum lagi kondisi alam yang masih liar, dan penyakit tropis seperti malaria, diare, dan disentri. Perlakuan yang diterima para romusha asal Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia, berbeda dengan para tahanan perang yang berasal dari negara lain. Para romusha mendapat makanan yang lebih sedikit dari para tahanan perang. Tidak hanya itu, perawatan medis yang mereka dapatkan pun tidak baik, sehingga para romusha yang sakit dibiarkan meninggal di pinggir rel kereta. Pada awalnya, para romusha ini dijanjikan mendapat makanan dan uang yang cukup dalam pembangunan jalur ini, namun hal itu tidak terjadi saat mereka mulai bekerja. Menurut alm. H. Rosihan Anwar, jumlah korban yang tewas dari tahanan perang berjumlah 2.596 orang sedangkan dari 100.000 romusha yang hidup sekitar 20.000 orang.

[caption id="attachment_126280" align="alignleft" width="300" caption="Prisoner of War"][/caption] [caption id="attachment_126278" align="alignright" width="300" caption="Romusha"][/caption]

Henk Hovinga dalam bukunya Eindstation Pakan Baroe 1943-1945 – Dodenspoorweg door het oerwoud menulis “dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”. Selain itu dalam situs COPEFOW beberapa korban yang hidup menceritakan yang mereka lihat dan alami selama membangun jalur kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung ini. Bagi mereka yang sudah sakit dan tidak mampu bekerja mereka akan dibawa ke perkemahan. Beberapa dokter dengan menggunakan peralatan yang sederhana berjuang keras untuk memberi harapan hidup kepada para korban. Salah satunya adalah W.J van Ramshorst dokter bedah militer dari Den Haag yang mengoperasi dan mengamputasi korban hanya dengan menggunakan pisau dan garpu sederhana........” Dalam cerita lain diberitahukan bahwa, ketika para pekerja kekurangan makanan, mereka memakan apa saja seperti padi beserta kulitnya dan belatung. “Saya melihat ayam memakan belatung, lalu berpikir, jika baik bagi ayam, baik bagi orang-orang juga.Jadi kami mengambil belatung dengan ember dari kakus, mencucinya, dan memasaknya dengan cabai, kemudian tampak orang-orang yang sakit membaik setelah memakan ini karena porsi ekstra protein”. Selain digunakan sebagai bahan tambahan makanan, belatung juga digunakan untuk menghilangkan borok-borok tipis.

[caption id="attachment_126286" align="alignleft" width="300" caption="Kondisi salah satu POW setelah dievakuasi"][/caption]

Setelah memakan waktu hampir dua tahun, pada 15 Agustus 1945, jalur ini selesai dibangun. Namun jalur ini tidak difungsikan seperti tujuan semula, jalur ini kemudian digunakan hanya untuk menyelamatkan para romusha dan tawanan perang yang masih ada di kamp-kamp yang terdapat di pinggir rel seperti di daerah Taratak Boeloeh, Soengeitengkrang, Soengaipagar, Lipat Kian, Logas, Kota Baroe, Moeara, Tapoei, dan Petai. Setelah digunakan untuk mengangkut para pekerja tersebut, jalur ini tidak pernah digunakan kembali sampai sekarang. Ironisnya, jalur ini tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintahan setempat, banyak besi-besi yang digunakan sebagai rel telah hilang karena dicuri. Untuk mengenang para pekerja yang membangun jalur ini, maka dibangun Monumen Lokomotif dan Tugu Pahlawan Kerja di Riau. Tidak hanya dibangun di Riau, di Inggris pun dibangun National Memorial Arboretum Staffordshire untuk mengenang para tahanan perang Inggris yang ikut menjadi korban.

[caption id="attachment_126284" align="alignleft" width="300" caption="Monumen Lokomotif dan Tugu Pahlawan Kerja"][/caption]

Hovinga, Henk, Eindstation Pakan Baroe 1944-1945: dodenspoorweg door het oerwoud Amsterdam: Buijten & Schipperheijn, 1982.

Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd.

Pikiran Rakyat, 25 Februari 2004.

http://www.riaudailyphoto.com/2011/05/napak-tilas-kereta-api-di-riau.html

http://eksposnews.com/view/2/15526/Mengangkat-Bangkai-Kapal-Harukiku-Maru-dari-Perairan-Batubara.html

http://pakanbaroe.webs.com/

http://www.cofepow.org.uk/pages/asia_sumatra3.html

http://kadaikopi.com/?p=934

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline