Lihat ke Halaman Asli

Rokhman

Menulis, menulis, dan menulis

Lupakan Mimpi Menjadi "Oemar Bakri"

Diperbarui: 2 Januari 2021   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

detik.com

Dulu ketika saya masih sekolah di SPG (SLTA Keguruan), saya kenal beberapa guru yang mengajar di SD dekat rumah. Salah satunya Pak Daryadi. Meski masih menyandang status guru honorer semangat kerjanya tidak kalah dengan guru PNS lainnya.

Pak Daryadi, kalau pagi mengajar Kelas 3 sore harinya digunakan untuk membina kegiatan ekstrakurikuler dan megajar ngaji keliling dari rumah ke rumah. Kebetulan waktu itu saya membantu kegiatan ekstrakurikuler Pramuka setiap hari Jumat sore di sekolah tersebut.

Apa yang dialami Pak Daryadi ternyata tidak sendiri. Masih banyak sosok Daryadi lain di antero negeri dari dahulu hingga saat ini. Mereka rela mengabdi di sekolah sebagai guru bakti meskipun tanpa honor yang memadai.

Mengapa mereka rela melakukan hal tersebut? Satu hal yang pasti mereka berharap suatu saat pemerintah memperhatikan dengan mengangkat statusnya menjadi pegawai negeri. Guru dengan status pegawai negeri (PNS) masih dipandang sebagai profesi idaman dengan gaji dan jaminan hari tua yang pasti. Apalagi dengan iming-iming tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji.

Tak heran dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendorong minat anak muda untuk menjadi guru. Jurusan keguruan yang semula sepi diserbu lulusan SLTA yang berminat menjadi guru. Perguruan tinggi penghasil calon guru (LPTK) baik negeri maupun swasta seperti jor-joran dalam menerima mahasiswa.

Namun demikian kebijakan pengangkatan PNS formasi guru selalu berubah-ubah. Setiap ganti pemerintahan ganti pula kebijakannya. Pernah ada kebijakan zero growth, guru bantu, guru PTT, dan sebagainya. Namun berbagai kebijakan itu belum menyelesaikan permasalahan guru. Masalah distribusi guru ibarat orang memakai sarung, ditarik ke atas aurat bagian bawah terlihat, sebaliknya jika diturunkan ke bawah aurat bagian atas akan terlihat.  

Di sisi lain jumlah lulusan sekolah guru terus bertambah setiap tahunnya. Akibatnya terjadi surplus calon guru. Oleh karena itu beberapa sekolah yang kekurangan tenaga guru main kucing-kucingan dengan mengangkat guru honorer meskipun sudah ada larangan sejak tahun 2005.

Kini impian guru honorer untuk bisa diangkat menjadi PNS semakin tipis menyusul kebijakan pemerintah yang akan menghapus seleksi Calon PNS untuk formasi guru mulai tahun 2021. Seluruh penerimaan formasi guru nantinya akan diisi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Menurut Kepala BKN Bima Haria Wibisana keputusan menghapus formasi guru dalam seleksi Calon PNS  diambil karena pihaknya menilai pengelolaan guru akan lebih efektif dengan status PPPK. "Ketika menjadi PNS, guru kerap meminta pindah lokasi pengabdian setelah 4-5 tahun bekerja. Hal ini mengganggu sistem pengelolaan dan distribusi guru yang sudah disusun pihaknya bersama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," jelas Bima seperti dikutip CNN Indonesia (30/12/2020).

Dengan kebijakan tersebut, meskipun status PNS dan PPPK memiliki kedudukan yang setara dengan gaji yang sama, namun untuk PPPK tidak mendapat hak pensiun. Untuk itu, teman-teman guru honorer yang selama ini bercita-cita menjadi guru PNS -- yang dulu digambarkan dengan sosok "Oemar Bakri" oleh Iwan Fals -- diharapkan bisa bersabar syukur bisa melupakan impian tersebut. Semoga kebijakan tersebut suatu saat akan ditinjau kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline