Satu lagi istilah baru menghiasi ruang publik di masa pandemi korona ini. "New Normal" atau "Kenormalan Baru" santer dibicarakan setelah ldul Fitri. Apa sih "New Normal" atau "Kenormalan Baru" itu? Ada pula pertanyaan nyleneh dari seorang teman, "Kenormalan baru itu sebenarnya normal atau tidak sih?"
Tulisan berikut mencoba mengurai apa itu "kenormalan baru" dan upaya apa yang perlu dipersiapkan guru untuk menyongsongnya.
Kenormalan baru menurut Badan Bahasa Kemdikbud @badanbahasakemdikbud yaitu keadaan normal yang baru (belum pernah ada sebelumnya).
Sementara kata "normal" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti; 1) menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan, dan 2) bebas dari gangguan jiwa.
Jadi "Normal" dan "Kenormalan Baru" mempunyai konteks dan makna berbeda. Normal berarti kembali seperti keadaan semula sementara normal baru adalah keadaan yang belum pernah ada sebelumnya.
Bersalaman dahulu merupakan kebiasaan baik, tetapi di era kenormalan baru menjadi sesuatu yang perlu dihindari. Dan masih banyak contoh lainnya sehingga dibutuhkan kemampuan adaptasi.
Pandemi korona mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan kenormalan baru, seperti menggunakan masker ketika keluar rumah, selalu mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak fisik ketika berada di tempat yang ramai. Kebiasaaan tersebut jelas bukan keseharian kita sebelumnya. Tetapi mau tidak mau masyarakat harus menerapkan (kenormalan baru) itu dalam kesehariannya.
Presiden RI Joko Widodo dalam pernyataan resmi di Istana Merdeka mengatakan, "Kehidupan kita pasti berubah untuk mengatasi wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut "New Normal" atau tatanan kehidupan baru." (Tempo.co, 15/5/2020).
Di sisi lain, jika melihat angka-angka korban wabah korona hingga saat ini belum ada tanda-tanda penurunan. Bahkan di daerah tertentu seperti Surabaya, Jatim jumlah pasien positif Covid-19 terus bertambah.
Kapasitas RS Unair penuh hingga tak mampu menerima rujukan pasien baru. Jumlah tenaga medis semakin berkurang karena ada yang tertular dan harus menjalani isolasi. PSBB Surabaya diputuskan untuk diperpanjang. Lantas di daerah seperti ini, apakah akan dipaksakan "New Normal?"
Namun, pernyataan presiden itu rupanya akan segera menjadi kenyataan. Hal itu ditandai dengan keluarnya jadwal "New Normal" di bidang ekonomi. Lantas bagaimana dengan "New Normal" bidang pendidikan? Siapkah guru menyambut kenormalan baru di sekolah?