Lihat ke Halaman Asli

Rokhman

Menulis, menulis, dan menulis

Fenomena Kalap Belanja Makanan dan Level Ibadah Puasa

Diperbarui: 2 Mei 2020   16:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

republika.com

Aksi borong makanan di bulan Ramadan sebenarnya tidak perlu terjadi jika seseorang paham hakikat berpuasa. Karena hakikat berpuasa adalah menahan diri. Lewat tataran menahan diri inilah diharapkan akan memperoleh pengalaman beragama yang otentik sesuai tujuan berpuasa yakni membentuk insan yang bertakwa.

Setiap manusia dalam memaknai Ramadan bisa berbeda-beda bergantung lapis kesadaran beragamanya. Maka, bagi mereka yang ingin meningkatkan kualitas diri dalam beribadah hendaknya tidak puas dengan pengalaman ibadah yang monoton itu-itu saja. Hendaknya orang beragama itu dalam beribadahnya senantiasa meningkat dan berkualitas.

Drs Syukriyanto AR Ketua LSBO PP Muhammadiyah menggambarkan tingkat-tingkat kesadaran dan kualitas beragama manusia mirip dengan episode buah kelapa. Episode buah kelapa diawali dari level manggar, bluluk, cengkir, degan, dan berakhir pada level kelapa tua.

Pada level manggar atau bunga kelapa, menggambarkan keadaan manusia yang baru bisa menikmati kemeriahan dalam beragama. Kalau berpuasa, yang dia nikmati baru makan sahur dan berbuka, dan ramai-ramai tarawih. Kemudian mengikuti pengajian dengan penceramah yang menghibur.

Pada level ini yang menarik dan banyak dibicarakan seputar makanan dan minuman untuk berbuka dan sahur. Pada minggu pertama bulan Ramadan, dia sudah mulai melupakan jamaah tarawih dan lebih menikmati keasyikan berbelanja persiapan lebaran. Idul fitri lebih dimaknai sebagai lebaran oleh manusia level manggar ini. Dia mirip anak-anak yang menyangka hidup ini dipenuhi pesta dan arena bersenang-senang. Maka, Idul Fitri dipandang sebagai puncaknya pesta selepas bulan Ramadan.

Level kedua yaitu level bluluk. Bluluk adalah buah kelapa amat muda, rasanya masih sepat. Manusia pada level ini dalam beragama sudah mulai kelihatan bentuk dan format ruhaninya. Tetapi masih mentah. Mereka rajin sekali beribadah. Ramadhan dimaknai seperti mengisi kolam dengan air sebanyak-banyaknya. Ia sibuk dengan hal-hal teknis dari ibadah puasa. Ia seperti berlomba, siapa yang paling banyak dalam membaca Al-Quran, rajin tarawih, rajin pengajian, rajin sedekah, dan sebagainya itulah yang paling top. Dalam sepuluh hari terakhir, ia larut dengan i'tikaf di masjid sebagai ibadah individual dengan mengesampingkan ibadah dan edukasi sosialnya.

Manusia level bluluk atau kelapa amat muda ini belum bisa menggali dan merasakan makna ibadah ruhani di bulan Ramadan, selain tahu bahwa kesibukan kegiatannya itu akan mendapat pahala. Namun, seiring berjalannya waktu dan mau melakukan evaluasi diri dalam beribadah serta mendapatkan bimbingan dari orang yang lebih tua dan lebih dewasa dalam beragama dia akan mampu bergerak dari level bluluk ke level cengkir atau bahkan langsung ke level degan. Pada level ini yang penting kualitas ibadahnya bukan sekadar kuantitas. Terlebih apabila mampu meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Perilaku sosialnya makin lembut dan makin peka terhadap penderitaan orang lain.

Level berikutnya yaitu level kelapa tua. Manusia yang sudah sampai pada level buah kelapa tua ini sudah matang dalam beragama. Buah kelapa yang mantap, menyimpan kesegaran ruhani mirip dengan air kelapa dan menyimpan kualitas gizi ruhani mirip dengan minyak yang tersimpan dalam daging kelapa. Manusia level ini memerlukan tempat ibadah dan suasana ibadah yang tenang, hening, teduh dan nyaman. Mereka tidak memerlukan hura-hura. Ketika makan sahur dan berbuka tidak menuntut macam-macam. Demikian juga ketika menjelang Idul Fitri, ia tak lagi gugup menyiapkan pakaian baru.

Manusia yang dewasa dan matang beragama sudah terbiasa puasa Senin-Kamis, terbiasa shalat malam, terbiasa tadarus Al-Quran dan terbiasa bersedekah. Namun, ketika ritual ibadah itu dilakukan di bulan Ramadhan rasanya menjadi lebih mantap, kenikmatan dan kelezatan ruhani yang diperoleh terasa berbeda. Di bulan Ramadhan lezat dan nikmatnya ibadah itu menjadi berlipat-lipat.

Jika seseorang mampu menyelami makna-makna Ramadan akan terhindar dari apa yang disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai, mereka tidak mendapatkan apa-apa selama Ramadhan selain lapar, dahaga dan letih. Bagi manusia yang matang dan dewasa beragama justru jiwa raganya menjadi lebih segar, berfikirnya menjadi lebih jernih dan hatinya menjadi lebih sejuk. Inilah hasil berpuasa yang sebenarnya yaitu membentuk manusia yang bertakwa.

Nah, jika di bulan Ramadan masih kalap belanja makanan artinya tahapan ibadah puasanya masih pada level manggar atau bunga kelapa. Dengan kata lain masih tingkat dasar. Lantas, jika setiap Ramadan hanya berkutat dengan belanja makanan kapan derajat keimanannya akan meningkat ke level berikutnya? Wallahu'alam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline