Judul tulisan ini terinspirasi oleh status teman saya yang kini sukses menjadi pengusaha. Teman sekolah calon guru (SPG) yang memilih jalan hidup menjadi pengusaha gerobak. Adalah, Sito Wasito pendiri dan pemilik rajagerobak. Raja Gerobak adalah Perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa design dan produksi gerobak, booth dan sebagainya yang berdomisili di Bekasi dan Jakarta.
Meski sukses sebagai pengusaha, nilai-nilai mulia yang diperoleh sewaktu belajar di SPG tetap tertanam kuat dalam jiwanya. Hal itu tercermin dalam kesehariannya melalui tulisan di dinding FB-nya. Salah satu tulisan yang menarik bagi saya adalah ketika mengomentari ditutupnya beberapa gerai supermarket yang dipengaruhi pasar tanpa batas (pasar online).
Dia menuliskan fenomena itu dengan judul, "Ada Peluang". Ibarat dinosaurus yang begitu besar dan kuat habis ditelan zaman, tetapi serangga yang kecil tetap mampu bertahan hidup hingga sekarang. Gambaran yang tepat untuk merujuk bahwa sebuah usaha dengan kapital yang besar dan dibangga-banggakan ternyata runtuh juga oleh dasyatnya gempuran peradaban zaman (internet). Namun, di balik itu ternyata tetap ada peluang bagi mereka yang bergerak di sektor UKM.
Supermarket mulai sepi terkalahkan Tokopedia. Taksi konvensional terkalahkan taksi berbasis aplikasi. Semuanya tak bisa dipungkiri akibat pengaruh internet yang semuanya serba online. Lantas bagaimana dengan dunia pendidikan?
Dunia pendidikan pun bisa terkena imbasnya. Banyaknya home schooling berdiri di seantero negeri. Bimbingan belajar online menawarkan jasa dengan berbagai fasilitas dan kemudahannya. Makin murah dan mudahnya memperoleh pendidikan bukan tidak mungkin sekolah reguler akan tumbang alias tutup. Namun, di balik itu tentu ada peluang. Selalu ada peluang agar sekolah tetap survive di tengah gempuran arus teknologi informasi dan komunikasi.
Sekolah yang bisa bertahan adalah sekolah yang bisa membaca peluang. Yaitu sekolah yang mampu memberikan nilai lebih yang tidak diperoleh melalui internet. Saat ini anak-anak kita tidak butuh teori yang dakik-dakik (Jawa : bertele-tele). Mereka dengan sekali klik mampu mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan dengan murah bahkan gratis. Sekolah dan guru nyaris tak berfungsi kecuali mampu menyediakan sesuatu yang tidak didapatkan dari internet.
Namun, yang perlu diingat internet adalah hasil kerja mesin. Mesin merupakan produk manusia. Tentu di dalamnya memiliki keterbasan. Keterbatasan itulah yang merupakan peluang bagi sekolah untuk menutupinya. Itulah perlunya sekolah yang mampu menawarkan kekhasan dan keunikannya.
Apa yang tidak bisa diperoleh anak di internet? Pendidikan karakter yang baik. Saat ini banyak anak cerdas dan pintar, tetapi anak yang berkarakter baik dan mempunyai etika kesopanan yang tinggi sangat jarang. Tawuran pelajar sebagai buktinya.
Contoh riil di suatu sekolah di wilayah Banyumas, ada seorang guru yang sedang mengajar dan menulis di papan tulis. Tiba-tiba ada siswa yang nyeletuk, "Pak Guru, ndhase ngaling-alingi!"(Pak Guru, kepalanya menghalangi/menutupi tulisan). Kalau diucapkan dalam Bahasa Indonesia sebenarnya tidak ada masalah. Namun, karena diucapkan dalam Bahasa Jawa hal itu menjadi masalah yang serius. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa anak tidak punya etika atau tata krama terhadap guru.
Penggunaan kata (ndhas = kepala), hanya cocok untuk anak yang seusia atau di bawahnya atau untuk hewan. Untuk orang yang dihormati apalagi kepada guru mestinya kata yang tepat adalah (sirah=kepala). Meskipun mempunyai makna yang sama, namun dalam Bahasa Jawa ada unggah-ungguh atau tata krama.
Hal inilah yang tidak diajarkan internet. Karakter, budi pekerti atau sikap hanya bisa dibentuk melalui sebuah proses berupa keteladanan dan pembiasaan. Peluang inilah yang mestinya dipenuhi oleh sekolah. Sekolah seyogyanya mampu menyelaraskan antara olah pikir, olah rasa dan olah fisik anak. Maka, sekolah yang mampu melayani hal tersebut tentu tidak akan gulung tikar. Karena setiap orang tua pasti mendambakan anaknya tidak hanya cerdas dan pintar tetapi juga beretika atau mempunyai karakter yang baik.