Mengajar di sekolah dasar memiliki tantangannya tersendiri. Salah satunya adalah ketika guru sekolah dasar mendapati siswanya yang belum bisa membaca. Apalagi jika hal ini terjadi pada kelas atas: kelas 4, 5 dan 6. Di kampung-kampung masih ada satu-dua siswa kelas atas yang memiliki kesulitan membaca.
Di sisi lain guru dihadapkan pada target pembelajaran. Guru harus menyelesaikan Bab per Bab materi ajar dalam target waktu tertentu sebelum terlaksananya Penilaian Tengah Semester (PTS) dan Penilaian Akhir Semester (PAS). Target pembelajaran ini akan berkurang tingkat kesulitannya jika semua siswa sudah bisa membaca.
Mengajar siswa SD dengan mengejar capaian target pembelajaran (menyelesaikan materi pembelajaran) bagi siswa yang belum dapat membaca seumpama seorang yang mengajar berlari kepada anak yang masih belajar berjalan. Tentu hal ini menyulitkan. Siswa tersebut akan sering ketinggalan gerbong rombongan belajar. Jangankan memahami isi teks, membacanya saja kesulitan.
Di kelas bawah, kelas 1, 2, dan 3, tantangannya lebih banyak lagi. Selain dipacu mengejar target materi belajar di tengah masih banyak siswa yang belum bisa membaca, anak-anak pada kelas bawah ini butuh penanganan intensif dalam hal perilaku mereka. Pada kelas bawah ini, anak-anak masih sering berlari kesana-kemari di kelas, bercanda ledek-ledekan dengan temannya sampai menangis, bahkan samapai ada yang berkelahi. Semua ini adalah tantangan yang luar biasa bagi seorang guru kelas bawah. Sekali lagi, ditambah dengan "beban" target pencapaian materi ajar yang cukup menyulitkan.
Orientasi pendidikan kita secara umum memang masih terpaku pada penilaian angka-angka sebagai tolak ukur hasil pembelajaran. Sementara aspek pendidikan karakter, penemuan bakat siswa, serta inovasi-inovasi pembelajaran rasanya sulit diwujudkan selama hasil akhir pembelajaran masih hanya ditentukan oleh tes-tes kognitif. Akibatnya, guru lebih banyak disibukkan dengan mengejar dead line penuntasan materi pelajaran yang bermuatan teori.
Padahal aspek kecerdasan anak itu sangat beragam dan luas serta dinamis. Seperti yang dicetuskan oleh Howard Gardner tentang teori kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence). Menurut Gardner, setiap anak memiliki kecerdasan dan keunikannya masing-masing. Tidak ada anak yang bodoh. Semua anak memiliki baktanya masing-masing. Tugas guru dan orang tua menemukan dan memfasilitasi bakat anak tersebut. yang menjadi permasalahan adalah perspektif sebagian masyarakat yang hanya melabeli "pintar" ketika anak pintar Matematika, Bahasa Inggris, dan sejenisnya. Sementara siswa yang mahir di bidng lain misal olah raga tapi lemah di bidang Matematika, ia belum tergolong "pintar".
Dalam perspektif kecerdasan majemuk, semua anak atau siswa itu pintar. tidak ada siswa yang bodoh. Masing-masing pasti memiliki bakatnya tersendiri. Tugas guru dan juga orang tua adalah menemukan dan memfasilitasi bakat anaknya.
Secara umum kemampuan anak terbagi pada tiga ranah: kognitif, afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Sementara sekolah secara umum belum banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotorik, karena masih banyak terpaku pada aspek kognitif. Padahal ketiga aspek tersebut seharusnya memiliki perhatian yang seimbang sebagai upaya pemenuhan perkembangan siswa serta penemuan bakat mereka.
Kembali kepada tantangan guru sekolah dasar. Lantas bagaimana seorang guru sekolah dasar mengatasi kondisi siswanya yang belum bisa membaca di tengah target penuntasan materi pembelajaran? Ini memang tantangan luar biasa seorang guru sekolah dasar, terutama di kampung-kampung. Masih ingatkah siapa guru-guru luar biasa kita saat di sekolah dasar?
Menjadi guru sekolah dasar itu harus siap menjadi manusia yang ekstra sabar.
Selain tantangan tersebut di atas, tentu seorang guru sekolah dasar akan membayangkan bagaimana muridnya nanti jika melanjutkan pendidikan di jenjang sekolah menengah. Di sekolah menengah (SLTP) materi pelajaran (teori) jauh lebih rumit dan kompleks. Akan terbayangkan jika ada siswa yang setelah lulus SD masih belum lancar membaca. Mereka akan tergopoh-gopoh oleh target pembelajaran di SLTP. Dengan beban, sekali lagi, orientasi keberhasilan dan "kepintaran" siswa yang masih terpaku pada ranah kognitif saja.