Novel Nur Jahan the Queen of Mughal adalah sekuel novel best seller "Mehrunisa The Twentieth Wife" karya Indu Sundaresan. Novel ini diterjemahkan dari The Feast of Roses Karya Indu Sundaresan, terbitan Washington Square Press, 2002. Nur Jahan The Queen of Mughal adalah edisi bahasa Indonesiannya yang diterbitkan oleh Penerbit Hikmah pada Mei 2008.
Novel ini mengisahkan tentang Ratu Nur Jahan yang bernama asli Mehrunisa. Mehrunisa memiliki seorang kakak bernama Abul Hasan. Mereka adalah anak dari Ghias Beg. Ghias Beg adalah bangsawan miskin yang kabur dari Persia ke India. Ia diterima oleh Sultan Akbar di India, di kerajaan Mughal. Kehidupan Ghias dan anak laki-lakinya, Abul Hasan, meningkat drastis setelah Mehrunisa dinikahi oleh Jahangir yang saat itu telah bergelar Sultan menggantikan ayahnya, Sultan Akbar. Terlebih setelah Mehrunisa mendapat gelar Nur Jahan, Ayahnya dan kakak laki-lakinya mendapatkan tempat istimewa di kesultanan dan dengan itu, taraf kehidupan merekapun meningkat drastis.
Mehrunisa dinikahi oleh Sultan Jahangir sebagai istri ke-20. Meskipun istri ke-20, Mehrunisa adalah cinta lama Jahangir. Ketika Jahangir masih berstatus Pangeran, ia telah mencintai Mehrunisa, namun cintanya tak mendapat restu dari ayahnya, Sultan Akbar.
Jahangir menganugerahi Mehrunisa dengan gelar Nur Jahan. Gelar ini adalah bukti dalamnya cinta Jahangir kepada Mehrunisa. Cinta yang telah terpendam bertahun-tahun dan akhirnya mendapatkan persemiannya. Persemian yang membuat cinta Jahangir begitu menggebu- gebu dan tak pernah terpikirkan untuk menikahi wanita lain setelahnya. Bahkan istri-istri Jahangir terdahulu, khususnya Jagat Gosini sebagai istri istimewa Jahangir, kini tak pernah dilirik oleh Jahangir. Perhatian Jahangir hanya terpusat pada Mehrunisa yang ia anugerahi gelar Nur Jahan itu.
Nurjahan lalu menjadi sosok yang kontroversial dan mendobrak tradisi kesultanan tentang sosok perempuan istri Sultan. Dengan keberanian dan kecerdasaannya, serta, tentu saja dengan cinta agung Sultan Jahangir kepadanya, Nur Jahan lalu mendapat gelar Ratu, dan kini ia dipanggil dengan Ratu Nur Jahan.
Dalam kesempatan-kesempatan selanjutnya, keberadaan Sultan Jahangir tak dapat dipisahkan dengan ratunya, Nur Jahan. Bahkan dapat dibilang, keputusan-keputusan yang diambil Sultan, tak ubahnya adalah juga keputusan sang Ratu. Sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya pada kesultanan Mughal.
Namun Ratu Nur Jahan tak dapat berbuat apa-apa jika kelak Sultan Jahangir meninggal dunia. Sang Ratu yang cerdas dan pendobrak tradisi ini pun lalu meyakinkan suaminya, Sultan Jahangir untuk menikahkan anaknya, Pangeran Shahryar, dengan Ladli, anak satu-satunya Nur Jahan dari suami pertamanya, Ali Quli. Mereka lalu menikah dan dikarunia satu anak perempuan.
Nur Jahan sebetulnya ingin menikahkan anaknya, Ladli, dengan anak Jahangir lainnya yaitu Pangeran Khuram. Khuram dan Shahryar adalah kakak-berdik namun beda ibu. Khuram memiliki potensi yang jauh lebih besar untuk menjadi Sultan dibandingkan Shahryar. Khuram memiliki segalanya. Dan Jahangir sendiri menaruh harapan besar kepada Khuram. Pangeran Khuram lebih memilih menikahi dengan pujaan hatinya, Arjumand Banu yang tak lain adalah keponakan Nur Jahan atau anak dari kakaknya Nur Jahan, Abul Hasan. Atas kegagalan menikahkan Khuram kepada Ladli, maka Nur Jahan menikahkan Ladli, anak perempuannya dari pernikahannya dengan Ali Quli, kepada Shahryar, sang pangeran yang tak bisa apa-apa dibandingkan dengan Pangeran Khuram. Dengan memiliki menantu Pangeran, tentu akan semakin menguatkan posisi Ratu Nur Jahan yang nota bene bukan berasal dari keluarga kerajaan.
Namun dalam babak berikutnya, Pangeran Khuram diduga kuat menjadi dalang pembunuhan terhadap pangeran lainnya yaitu Khusrau. Artinya, Khuram telah membunuh saudara laki-lakinya se-ayah beda ibu. Atas dasar ini, sang ayah yang sekaligus sebagai sultan, Jahangir, tak dapat menahan rasa kekecewaan terdalamnya terhadap pangeran yang sebelumnya ia banggakan. Sang Sultan lalu memerintahkan Khuram untuk menghadapnya. Namun sang Pangeran membantah lalu kabur dan mengasingkan diri jauh dari ibu kota.
Di tengah situasi ini, Jahangir mengalami sakit. Kian hari penyakitnya semakin parah dan akhirnya ia tak lagi kuasa menahan sakit paru-apru yang dideritanya. Sultan Jahangir akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 28 Oktober 1627 pada usia 58 tahun.