Realitas pendidikan Indonesia menjadi pembicaraan hangat kaum intelektual di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia pembicaraan prestasi pendidikan menjadi jargon pihak terkait di antaranya sekolah, Dinas Pendidikan, hingga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun seiring dengan acungan jempol prestasi pendidikan itu, sebagian orang (masyarakat) melihat dari sudut pandang berbeda. Mereka mengatakan bahwa pendidikan Indonesia masih dalam taraf biasa-biasa saja. Bahkan paradigma itu berujung pada hipotesis bahwa mutu pendidikan Indonesia belum bisa diandalkan.
Mutu andalan dari pendidikan digenjot oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai, termasuk pengajarnya. Fondasi suatu bangsa yang maju bergantung pada kesuksesan pengajarnya ketika memberikan ilmu yang baik di dalam kelas.
Penyajian Prof. Dr. H. Djam'an Satori, MA, seorang Guru Besar dari Universitas Indonesia pada hari Minggu, 8 November 2015 di hadapan para guru SMP se-Kabupaten Boalemo bahwa mutu pendidikan Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain.
Bahkan Amerika pun setara tingkat pendidikan para pengajarnya dengan Indonesia. Hanya saja Amerika sebagai negara adikuasa itu telah lebih awal memiliki tenaga pengajar yang berkualitas.
Rentetan dan pengalaman pendidikan lebih dulu dirasakan oleh negara Amerika ketimbang Indonesia. Tetapi dalam taraf tingkatan pendidikan pengajar antara Indonesia dan Amerika setara. Artinya, Suatu saat Indonesia mampu menjadi seperti Amerika, atau bahkan orang-orang Amerika akan banyak belajar ke Indonesia.
Amerika, suatu negara yang menjadi teropong negara-negara baru berkembang di dunia. Bahkan menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hampir semua ilmu pengetahuan berkembang dengan baik di negara itu. Ada rasa pesimisme terhadap perkembangan ilmu pengetahuan jika tidak dipakai dan beredar di Amerika. Setya Yuwana Sudikan,
Guru Besar dan juga Dosen Senior di bidang sastra Universitas Negeri Surabaya mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan apa pun jika tidak dipopulerkan lewat Amerika dan Eropa sulit berkembang dengan baik di negara-negara lain, sebab cermin dan ilmu pengetahuan masih mengandalkan ilmu dari dari kedua benua itu. Sekurang-kurangnya diterbitkan di Amerika dan Eropa walaupun penulisnya dari negara lain.
Itulah Amerika, meskipun telah menjadi negara penguasa, namun satu yang membanggakan, tenaga pengajarnya sama dengan Indonesia. Kebanyakan dari mereka berpendidikan sarjana, sama seperti Indonesia. Oleh sebab itu, peluang emas bagi Indonesia untuk memperbaiki mutu sangat besar.
Tidak banyak lagi pekerjaan rumah dalam internal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebab rasio pengajar antara kualifikasi pendidikan S1 dan non S1 masih lebih tinggi yang berpendidikan S1, bahkan mulai terjadi peningkatan pada jenjang S2 dan S3. Mimpi mewujudkan pendidikan sempurna pada 30 tahun mendatang akan segera terwujud.
Lebih lanjut Prof. Djam'an Satori menguraikan bahwa anak-anak Amerika telah diajarkan untuk mampu menjawab pertanyaan sesuai dengan konteks pada masa mendatang. Misalnya ketika ditanya tentang kegunaan belajar matematika, maka mereka akan menjawab bahwa matematika sangat dibutuhkan pada suatu saat nanti. Jika masuk Perguruan Tinggi dan memilih Jurusan Ekonomi, pastilah ilmu matematika akan sangat berguna dalam menghitung kredit, debet, dan lain sebagainya. Demikian juga ilmu matematika dapat berguna pada peserta didik yang berkeinginan menjadi pedagang, sebab hitung-hitungan uang, untung dan rugi, peserta didik harus memiliki kompetensi di bidang perhitungan. Bedanya dengan anak-anak Indonesia dari segi jawabannya. Anak-anak Indonesia jika dilontarkan pertanyaan serupa maka akan memberikan alasan bahwa sudah demikian, karena belajar matematika telah tertera di jadwal mata pelajaran.