Kebiasaan masyarakat Indonesia adalah berkumpul dan berdiskusi. Realita menunjukkan hampir semua individu memenuhi pengembangan diri dengan cara berkumpul dan berdiskusi.
Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa tak terlepas dengan komunitas, golongan, perkumpulan, organisasi, dan berbagai wadah lainnya yang dijadikan sebagai pengembangan diri sekaligus wadah memperoleh informasi aktual dan faktual. Kebiasaan-kebiasaan itu selayaknya ritual rutinitas yang dilakukan sehari-hari.
Dalam dunia kerja pun demikian, terjalin kompromi-kompromi dalam skala kecil (dialog), maupun dalam skala besar (seminar, simposium, Bimtek, dll). Manakala terjalin kompromi-kompromi tersisip pula kebiasaan mengusik.
Kebiasaan mengusik merupakan tabiat yang bersifat memberikan isu-isu tertentu baik fakta maupun opini kepada orang lain. Kebiasaan mengusik terselip dalam setiap tindak tutur yang dilontarkan penutur (pembicara) kepada petutur (mitra tutur, pendengar). Secara umum, mengusik berisi empat hal, yang dijabarkan berikut ini.
Pertama, mengganggu orang lain. Indikasi untuk mengganggu orang lain berawal dari ketidakjujuran hati dan rasa risau jika melihat orang lain senang. Terkadang dalam kehidupan muncul filosofi klasik "Merasa senang melihat orang susah, dan merasa susah melihat orang senang." Demikianlah redaksi kalimat filosofi itu yang dapat dilihat dengan seksama di sekeliling kita.
Keterlibatan individu dalam memprovokasi isu agar memunculkan gangguan yang sifanya mengancam ketenangan lahir dan batin tidak bisa dihindari, sebab keinginan untuk melihat orang lain melarat lebih tinggi.
Kedua, mencela dengan maksud menjatuhkan orang lain. Perbuatan mencela hadir sebagai manifestasi persaingan-persaingan antara individu maupun kelompok.
Efek dari persaingan itu kelak memberikan nama baik yang tentu mengganggu orang lain tersaingi. Merujuk dari rasa persaingan itu, tindak lanjut yang ditempuh sebagai rangkaian dari usaha adalah mencela. Tidak bisa dipungkiri bahwa mencela sebetulnya hadir dari rasa sakit hati. Meskipun mencela berimbas pada kritikan, tetapi mencela lebih cenderung sikap yang terbentuk untuk tujuan menghina.
Ketiga, mengkritik dengan tujuan memberikan masukan sekaligus menyampaikan perbandingan ide. Dalam logika intelektual dan akademik mengkritik suatu keharusan yang diharapkan agar terjadi diagnosis tingkat keilmuan dan kadar penguasaan terhadap sesuatu. Artinya, semakin banyak kritikan yang sifatnya membangun, semakin baik proses berpikir seseorang. Oleh sebab itu, dalam beberapa disiplin ilmu memiliki tata cara kritikan dan ilmu-ilmu kritik.
Misalnya dalam karya sastra ada disiplin ilmu yang diberi nama kritik sastra. Barangkali dalam ilmu-ilmu lain pun demikian. Namun ada hal ganjil dalam mengkritik. Kebiasaan kita, hanya mampu memberikan kritikan tanpa gagasan solusi.
Semua orang mau melakukan kritikan tanpa solusi. Demikian sebaliknya, sedikit orang yang mau dikritik, sebab kritikan dimaknai sebagai ajang menjatuhkan martabat. Meskipun demikian, selayaknya obat dan solusi penyembuhan, kritikan harus terjadi.