Pagi ini saat kembali dari mudik di kampung mendadak motor butut kesayangan serasa terbang sesaat. Terbang sesaat diserta suara keras benturan pada mesin. Awalnya roda depan terhempas ke atas lalu disusul roda belakang membumbung tinggi lemparkan tubuh berikut tas ransel ke angkasa. Bersyukur bisa kembali terduduk di motor walau ransel laptop terpental hingga di tengah jalan; di antara dua arus konvoi mudik berlawanan. Bersyukur juga mobil-motor tak menggilas itu ransel. Baru tahu yang bikin terpental ternyata sebongkah batu sebesar seukuran kepala manusia dewasa yang habis disengat 3000 ekor lebah. Kenapa pake ditambah habis disengat lebah? Tentu demikian mengingat bentuk batu ngga mulus melainkan benjol-benjol. Busyet, batu segede itu di tengah jalan aspal dan celakanya di antara sekian motor yang lewat Cuma aku yang berkesempatan menggilasnya. Menggilas, ya menggilas layaknya stomwalls. Pelajaran baru yang bisa diambil adalah bahaya jalan beriringan dekat di belakang kendaraan jenis jip/ SUV. Kolong lantai yang tinggi membuat batu sebesar kepala sekedar lewat di bawah, sementara aku tepat 1,5 m di belakang. Seandainya tadi berada di belakang sedan yang berkolong lebih pendek tentu batu tersangkut atau tersapu sedan duluan.
Heran bagaimana batu segede demikian sanggup bertahta di tengah jalan beraspal seolah tak lekang oleh evolusi. Setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, batu jatuh dari atas bak truk yang membawanya atau alibi kedua, batu sengaja diletakkan orang di jalan. Jawaban kedua tentu lebih rasional karena pertama, ada banyak material serupa di pinggir jalan bekas pengurukan pelebaran jalan. Kedua, tiada jejak benturan atau goresan sisa batu jatuh dari truk pada aspal. Ketiga, kemiringan jalan di lereng Merbabu ini rentan menghambat perjalanan truk tua bermuatan lebat hingga macet menunggu perbaikan di tempat. Sementara tuas rem manual atau handrem truk bukan dirancang menahan truk berhenti lama dalam sudut kemiringan dan muatan lebat. Mesin yang mati berarti tak ada lagi dukungan didrolik pengereman. Saat demikian awak truk akan mengganjalnya dengan batu besar terdekat sejangkau tangan.
Tapi dua alenia di atas itu bukan yang terpenting dalam tulisan ini dibanding pertanyaan bagaimana batu segede kepala sanggup bertahta di tengah jalan beraspal seolah tak lekang oleh evolusi? Pelaku awak truk tak lagi beritikad baik mengembalikan batu ke asalnya. Pun tak ada ada orang berupaya menyingkirkannya. Bagaimana mungkin batu sebesar kepala di tengah jalan bisa bebas dari rasa makna orang di sekelilingnya. Rasanya ngga berlebihan bila batu ini kusebut sebagai Maha Karya Oportunitas. Pertama, kenapa musti diberi dibilang Karya? Ya, semua realitas bikinan manusia kan bisa disebut sebagai Karya. Mungkin ada yang protes, istilah karya kan untuk sesuatu yang baik. Ya, ini juga dibukin maksudnya baik; buat mengganjal truk tak menggelindaing ke belakang. Kedua, kenapa disemat kata Maha? Karena ini sebuah karya besar mungkin setara seni instalasi. Seni instalasi? Iya, barang yang sengaja dicerabut dari tempatnya hingga tak lagi difungsikan normal sesuai harusnya di asalnya tergolong seni instalasi. Ketiga, kenapa “oportunitas”? Ya, istilah oportunis merujuk pada sifat seseorang yang hidup cuma mementingkan (keuntungan) diri sendiri dengan menistakan keberadaan orang lain.
Jadi dalam bahasa hemat, Maha Karya Oportunitas ini adalah buah kreativitas kebebalan isi otak manusia Kita hari ini. Masyarakat yang memilih acuh sebagai sistem nilai realistk dalam bermasyarakat. Awak truk adalah personal yang paling toleran di jalan hingga 1980-an. Mereka rajin membawa bantalan kayu sendiri untuk mengganjal truk mogok lalu membawanya lagi saat truk sudah siuman. Kenapa sekarang tidak? Batu seukuran kepala manusia tentu bukan perhiasan yang indah untuk ditahtakan selamanya di jalan sementara doktrin agama saja wajib menyingkirkan duri (yang lebih mini) dari jalan agar tak terinjak. Pengguna jalan yang lain pun tak ada geliat empati menyingkirkan. Apa yang terjadi dengan masyarakat ini? Apakah mereka tak lagi punya orang dicinta yang mungkin celaka atas kasus serupa di tempat dan waktu lain? Apakah tak lagi terbesit seandainya diri celaka di kali lain atas kasus serupa? Tentu jawab mereka cuma satu, yang penting bukan mereka celaka hari ini. Kapitalisme** rupanya telah memenjarakan sisi kemanusiaan masyarakat kita menjadi sekedar manusia Zombie yang sibuk atas diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H