Lihat ke Halaman Asli

Haryo Aji Nugroho

Dunia berubah oleh pikiran tak biasa

Ia Merdeka dalam Dimensi Kuasa-Nya

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kata "Allah" itu bukanlah Allah sesungguhnya. Ia hanya representasi makna penganutnya atas Allah sesungguhnya. Jadi biarpun berapa kali kaligrafi dihancurkan itu hanya sebuah kaligrafi bertulis nama Allah. Bahkan kata Allah yang diucap pun bukan Allah yang sesungguhnya. Allah yang sesungguhnya bebas tanpa batas tanpa terjamah. Mengapa representasi hadir? Karena manusia membutuhkan representasi. Mengapa manusia membutuhkan representasi? Karena manusia makhluk material (wadak). Manusia bukan mahkluk supranatural tanpa tubuh. Ia tercipta dari sifat material padat (tanah) hingga pengalaman normal dunianya sebatas dimensi material. Pengalaman dimensi "surealis-material" (boleh dok pake istilah sendiri) terlalu sulit dijangkau untuk dihadirkan sehingga muncul konsep "iman" yang berarti percaya ngga percaya tetap harus haqul yakin bila bila ingin tergolong beriman. Namun keterbatasan manusia menghadirkan yang sesungguh "surealis-material" dalam genggaman hati memaksa harus berulang terpuruk dalam penjara material sehari. Representasi muncul dari kerinduan pada sang adi kodrati sesungguh hanya sebatas untuk representasi. Representasi diharapkan membantu mengenali wujud, sebatas tujuan fokus, memudahkan menunjuk, simbol identitas, atau sekedar untuk menyebut (kata). Tanpa disadari terkadang keterbatasn logika material mampu menjatuhkan "pengiman" hingga dasar palung berhala. Lalu?

Kembali kata "Allah" itu bukanlah Allah sesungguhnya. Ia hanya representasi makna penganutnya atas Allah sesungguhnya. Jadi biarpun berapa kali kaligrafi dihancurkan itu hanya sebuah kaligrafi bertulis nama Allah. Bahkan kata Allah yang diucap pun bukan Allah yang sesungguhnya. Allah ada dalam dimensi entah-berantah berbeda dari dimensi material dikuasa manusia. Pun menemukanNya, memahamiNya dengan cara material tentu gagal sekalipun sekedar memeluk ujung bayanganNya. Allah berada alih-alih "bekerja" dalam dimensi kuasa lain di sela dimensi materi; serupa acara stasiun radio SW yang tak mampu dicari dalam gelombang FM ataupun AM walau gelombang ada mengeliling radio. Tiada mampu mendeteksi "sebuah aksistensi" bukan berarti eksistensi tiada. Ia hanya tak muncul dalam layar radar kita. Tiada terdeteksi bukan berarti Sang Tak Terdeteksi tak mengerjakan sesuatu. Bila dalam ilmu grammar istilah predikat dimaknai sebagai kata kerja dalam struktur kalimat, mungkin Sang adikodrati mengerjakan "tugas predikat"Nya sendiri dengan kemerdekaan caraNya sendiri. Kegagalan logika "berhala" memahami adalah mebayangkan Allah hidup, duduk, bekerja, menilai seperti dalam pengalaman dunia materi manusia melakukan. Singgasana bagiNya tak selalu sebuah kursi layaknya kursi takhta raja Jawa duduk atau balai-balai tahta para kaisar Romawi rebah. Allah "bekerja" tak penting merujuk birokrasi layaknya dalam pengalaman dunia material. Dan Allah menilai (hisab) bukan harus merukuk metode hakim dunia material bekerja. Ia merdeka dalam dimensi keberadaanNya, Ia merdeka dalam yang dilakukanNya, Ia berkuasa dalam dimensi keputusanNya.

Kata "Allah" itu bukanlah Allah sesungguhnya. Ia hanya representasi makna penganutnya atas Allah sesungguhnya. Jadi biarpun berapa kali kaligrafi dihancurkan itu hanya sebuah kaligrafi bertulis nama Allah. Bahkan kata Allah yang diucap pun bukan Allah yang sesungguhnya. Ia tidak terpenjara dalam hitung angka. Angka 1..2..3.. adalah analogi material yang memudahkan. Tapi analogi material hanya memudahkan memahami dimensi materia bukan sesungguh memahamil; di luar dimensi materiali ia bukan sesungguh analogi; ia hanya membantu menghadirkan rasa dekat yang mungkin melegakan atau jauh yang menakutkan. Jangan simplifikasi yang dikerjakan Allah dengan sekedar logika dimensi material --Ia merdeka dalam kuasa dimensiNya. Dosa-pahala--seberapa dosa-seberapa pahala, siapa pendosa-siapa pengamal, siapa surga-neraka atau emperan saja itu prerogatifNya. Itu bukan keputusan jasad-jasad material.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline