Sebagai pembuka, silakan Anda sebut tulisan saya ini sebagai curcol walaupun saya merasa tidak mencolong apapun. Anda boleh juga menyebutnya sebagai pembelaan mutlak atas kesalahan-kesalahan yang telah saya lakukan baik secara disengaja maupun direncanakan. Bisa juga Anda menyebutnya sebagai bentuk kepengecutan saya karena tidak berani menyampaikan isi tulisan ini langsung secara lisan kepada atasan atau pihak lainnya yang terkait.
Selain itu, terserah Anda. Silakan Anda menyebutnya dengan berbagai istilah lain yang lebih layak dan tepat. Tulisan ini sepenuhnya menjadi milik Anda sebagai pembaca setelah saya posting di laman kompasiana ini. Selamat membaca.
Saya mewakili diri saya pribadi. Saya tidak akan bertindak seolah-olah sebagai pahlawan kesiangan yang memang selalu bangun kesiangan. Saya juga tidak akan merasa sok jagoan karena telah menulis tulisan ini. Saya adalah saya, seorang pribadi yang bersembunyi di balik nama pena 'Om Cungkring Garing'. Silakan Anda lacak data diri saya jika memang Anda kelebihan waktu dan energi, serta bersedia membuangnya untuk sesuatu yang tak berharga sama sekali.
Curhatan ini terpantik oleh postingan di sebuah grup (di lingkungan kerja) yang saya ikuti. Dalam grup itu terjadi sebuah debat kecil manakala kami akan mengadakan suatu kegiatan. Acara tersebut sudah dirancang sedemikian rupa dengan jadwal waktu yang cukup ketat. Muncullah postingan dari pihak yang menganggap (merasa) dirinya sebagai panitia bahwa seluruh peserta kegiatan diharapkan untuk menaati jadwal yang telah direncanakan.
Tiba-tiba, mak bedundu,muncul tanggapan dari salah dua (baca: dua orang) peserta kegiatan yang pada intinya mengatakan -- dengan nada sindiran -- bahwa jika menghadapi suatu kegiatan, kita (sepertinya mengarah kepada diri saya) selalu berusaha tepat waktu dengan alasan takut ditinggal dalam kegiatan tersebut.
Sementara itu, dalam rutinitas pekerjaan sehari-hari, kita (masih mengarah kepada diri saya) selalu datang telat ke tempat kerja, melalaikan pekerjaan yang merupakan tugas wajib. Sampai di sini poin utamanya adalah: saya selalu datang telat dalam bekerja, tetapi tepat waktu dalam kegiatan karena takut ditinggal.
Poin kedua, sudah beberapa bulan ini, honor kami (baca: saya pribadi) selalu mengalami keterlambatan dengan berbagai alasan birokrasi klasik. Herannya, apapun keluhan dan protes kami selalu menguap secara otomatis tanpa menghadapi perbaikan sama sekali. Protes dan menguap otomatis. Apapun yang kami sampaikan selalu dijawab dengan jawaban yang sama: bukan kesalahan kami (atasan), tapi memang dari pihak sana (baca: atasannya atasan) belum diberikan honor. Jadi, kami harus sabar, sabar, dan sabar menunggu.
Sampai kapan? Sampai debt collector datang menagih semua tagihan utang kami yang kebetulan jatuh temponya per bulan. Alasan demi alasan selalu kami berikan kepada pihak penagih hutang. Mulai dari PLN, PAM, leasing kendaraan, BTN, petugas kebersihan, dan pihak lain-lainnya yang ternyata jauh lebih banyak daripada pihak pemberi honor kami yang hanya satu-satunya.
Honor kami selalu telat, kami diminta sabar. Kerja kami selalu telat, kami ditegur (baik secara halus/sindiran, maupun agak tegas). Kami tak menuntut banyak. Kami memang pekerja honorer (kadang diplesetkan menjadi: HOROR-er) dan pekerja baru (masa kerja kami bervariasi antara 1 s.d. 15 tahun), tetapi kami juga manusia yang harus membayar banyak tagihan di dunia yang serba kredit ini. Bahkan, untuk sekadar membeli sepatu dan celana untuk pakaian kerja kami saja, kami harus mengkreditnya selama dua sampai lima bulan.
Setidaknya penuhilah kewajiban tagihan-tagihan kami. Sudah cukup banyak lubang yang kami gali. Istilah 'gali lubang, tutup lubang' sudah tidak berlaku bagi kami. Istilah itu sudah lama berganti menjadi 'gali lubang, gali lubang, dan gali lubang'. Entah kapan kami menutup lubang-lubang yang menganga itu. Sabar, sabar, dan sabar.
Kami iri kepada pegawai yang sudah "diakui negara". Ya..., jujur kami akui, kami iri. Mereka mendapat hak lebih banyak dari kami, padahal beban kerja kami hampir sama, bahkan mungkin beban kerja kami lebih berat. Mereka mendapatkan gaji pokok ditambah dengan tunjangan ini dan tunjangan itu. Sementara itu, kami harus puas dengan sekadar honor pokok yang selalu telat, tanpa tunjangan sama sekali sehingga hidup kami hampir roboh karena tak memiliki penunjang apapun. Sabar, sabar, dan sabar.