Lihat ke Halaman Asli

Sang Pelaut yang Hilang di Daratan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusuri lagi jalan-jalan yang dulu kerap kami lalui bersama, seperti menyusun kembali kepingan-kepingan peristiwa untuk menjadi sebuah puzzle manis yang bernama “kenangan”. Aku masih ingat betul letak rumahnya, meskipun di sana sini banyak yang telah berubah. Rumahnya memang tak jauh dari gedung sekolah kami di bilangan Sunter Agung, Tanjung Priok Jakarta Utara. Dahulu, sering kali selepas pelajaran olah raga atau saat turun main tiba, kami anak-anak SD inpres dengan uang saku terbatas ini berlarian sambil bersenda gurau ke sana untuk sekedar mendinginkan kerongkongan dengan air kulkas gratis. Ibu Nurhasanah atau yang akrab dipanggil Ibu Nung sambil melayani pembeli di warung gado-gado di muka rumahnya biasanya akan berkicau panjang pendek pada bocah-bocah berkeringat dan bau matahari ini agar jangan ribut dan jangan berebut. Beliau adalah ibunda dari Yadin Muhidin, kawan sekolahku sejak SD hingga SMP yang juga menjadi korban penghilangan orang pada peristiwa 14 Mei di Jakarta dua belas tahun yang lalu. Sebuah rentang waktu yang terbilang cukup panjang, tapi seperti baru kemarin sore rasanya.

Yadin merupakan anak kedua dari tiga bersaudara buah pernikahan Bapak Umar dan Ibu Nurhasanah yang juga merupakan anak laki-laki satu-satunya, yang menjadi tumpuan harapan bapak dan emaknya agar kelak dapat menjadi tulang punggung dan mengangkat derajat keluarga. Selepas SMP kami berpisah, dan bersama beberapa orang kawan, Yadin masuk sekolah pelayaran dan kemudian melanjutkan ke akademi maritim untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang nakhoda kapal. Hal yang lazim, mengingat daerah tempat tinggal kami memang dekat dengan pelabuhan Tanjung Priok.

Siang itu aku datang kembali ke rumahnya setelah sekian belas tahun. Ibu Nung baru pulang sehabis menjenguk tetangganya di rumah sakit. Sambil beristirahat, beliau memandangi  potret Yadin berseragam ABK yang terpajang di dinding triplex rumahnya. Dengan mata menerawang Ibu Nung menuturkan bahwa sebenarnya pada waktu itu Yadin sudah ikut berlayar bersama kakak iparnya ke Singapura. Setahun kemudian ia kembali ke tanah air untuk melanjutkan pendidikan pelautnya dan mengikuti ujian untuk menaikkan jenjang pangkatnya di kapal. Selesai ujian, Yadin diajak lagi oleh kakak iparnya untuk kembali berlayar. Yadin menerima ajakan tersebut, dan diputuskan bahwa Ibu Nung lah yang akan ke kampus Yadin untuk mengambilkan ijasah pelautnya dan nanti akan dikirimkan ke kantor maskapai pelayaran tempat Yadin bekerja di Negeri Singa itu. Namun entah mengapa Yadin berubah pikiran. Ia membatalkan rencana semula dan tetap berada di Jakarta, karena dia ingin mengambil sendiri ijasah pelautnya.

Kemudian, di hari itu pecahlah amuk massa di  beberapa titik di ibukota dan sekitarnya, termasuk di wilayah sekitar tempat tinggal Yadin. Ibu Nung sebelumnya sudah mewanti-wanti agar Yadin jangan ikut-ikutan seperti itu. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Rupanya Tuhan sudah punya rencana lain untuknya. Hari itu Ibu Nung diminta untuk membantu memasak di rumah tetangganya yang akan menggelar hajatan. Maka lepaslah pengawasan beliau terhadap Yadin. Pukul sebelas siang Yadin terbangun dari tidurnya karena suara riuh orang lalu lalang di muka rumahnya sambil membawa barang-barang jarahan. Terdorong oleh rasa penasaran dan ajakan teman-teman dan para tetangganya, diapun pergi ke luar untuk menonton amuk massa tersebut.

Selepas maghrib di sekitar lokasi amuk massa dilakukan sweeping oleh petugas berseragam. Didahului oleh beberapa tembakan peringatan, massa yang kocar-kacir satu persatu berhasil diciduk dan dinaikkan ke atas truk milik petugas, termasuk juga Yadin.

Kedua orang tuanya mulai khawatir, karena selepas bedug isya hingga tengah malam dia tak kunjung pulang. Keesokan harinya, Pak Umar pergi ke polsek Tanjung Priok untuk mencari keberadaan putranya. Namun petugas polsek mengatakan bahwa memang benar Yadin dibawa ke situ, tapi sudah dipulangkan. Itu terbukti karena ada nama Yadin tertulis pada daftar orang-orang yang dibawa ke situ. Tapi yang menimbulkan pertanyaan adalah, mengapa Yadin tidak kembali ke rumahnya? Padahal jarak kantor polsek tidaklah seberapa jauh dan bisa ditempuh walau mesti berjalan kaki. Karena pada saat itu akses jalan banyak yang ditutup sehingga menyebabkan arus lalu lintas kendaraan menjadi lumpuh.

Menurut keterangan keluarga dan teman-temannya, Yadin bukanlah seorang aktivis. Yadin hanyalah seorang warga masyarakat biasa yang menikmati euforia aksi massa pada tanggal 14 Mei 1998 yang secara kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah. Teh Tetty, kakak perempuannya yang hari itu ada di rumah mengatakan bahwa Yadin cuma pulang sebentar untuk shalat dzuhur dan istirahat sejenak, setelah itu dia pergi lagi dengan mengenakan kaus putih dan celana pendek berwarna hijau. Dan sejak hari itu hingga hari ini, Yadin menghilang, dan tidak kembali lagi.

Banyak tempat sudah didatangi, banyak juga instansi sudah disambangi, namun keberadaan Yadin hingga kini masih tetap menjadi misteri. Memikirkan putranya yang menghilang tanpa ada kejelasan kabar berita menyebabkan bukan hanya kesehatan fisik Pak Umar dan Ibu Nung saja yang terganggu, tapi juga aspek pskologisnya. Kedua orang tua Yadin ini dilanda depresi berat.

Setiap bulan Mei, bulan di mana Yadin menghilang, ibu Nung pasti jatuh sakit. Bahkan pernah tiga kali dirawat inap, dan terakhir kali ia sempat sebelas hari koma di rumah sakit karena kadar gula darahnya melonjak drastis. Pernah juga pada suatu hari Ibu Nung histeris dan mengamuk di rumahnya. Dikira sudah tidak waras, Ibu Nung dibawa ke RS Jiwa Grogol oleh Teh Tetty. Namun oleh para aktivis KONTRAS, Ibu Nung dijemput pulang dan dibawa ke psikiater untuk melakukan terapi.

Pernah juga Ibu Nung mendatangi lokasi di mana Yadin menghilang. Beliau berada di sana hingga pukul 2 dinihari sehingga membuat orang-orang di sekitar situ menjadi heran dan bertanya-tanya, namun beliau hanya berdiri terpaku dengan tatapan kosong sambil sesekali bercerita dengan suara perlahan tentang putranya yang hilang di tempat tersebut. Oleh petugas hansip yang malam itu kebagian tugas jaga, akhirnya Ibu Nung diantarkan pulang ke rumahnya.

Atau sering kali, oleh Ibu Nung,  kawan-kawan sepermainan Yadin atau anak-anak tanggung di sekitar rumahnya disuruh mengantarnya menjemput Yadin dengan membonceng sepeda motor. Tapi mereka sudah maklum dengan keadaan Ibu Nung dan menuruti saja permintaan beliau. Akhirnya Ibu Nung hanya dibonceng berkeliling-keliling di sekitar kawasan PRJ Kemayoran sambil dibujuk-bujuk agar bersedia kembali diantar pulang.

Pernah juga rumah Ibu Nung didatangi oleh seseorang yang mengaku sebagai orang pintar yang mengetahui keberadaan Yadin. Orang itu kerap meminta sejumlah rupiah kepada keluarga Ibu Nung dengan alasan untuk biaya mencari Yadin, yang lama kelamaan membuat keluarga Ibu Nung kesal dan tak lagi meminta jasa orang itu. Ironis, di tengah kesusahan, masih ada saja orang-orang yang memanfaatkan situasi demi mencari keuntungan pribadi.

Demikian pula halnya dengan Pak Umar. Pernah pada saat mengantar barang ke luar kota dengan mobil perusahaan, secara tiba-tiba beliau menghentikan mobilnya di tepi jalan tol. Keneknya sempat dibuat bingung, apalagi ketika mereka dihampiri oleh mobil patroli lalu lintas yang membuatnya semakin panik. Pak Umar hanya terdiam mematung tanpa berkata sepatah katapun, meskipun berulangkali ditanyai oleh petugas polantas. Rupanya Pak Umar habis melihat mobil truk tentara yang membuatnya teringat akan nasib anaknya yang hilang.

Pernah juga pada suatu siang Pak Umar tampak berlari ke luar rumah sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama Yadin. Tiang listrik yang berada di depan rumahnya dipeluk sambil menangis, membuat orang-orang yang sedang makan gado-gado di warung Ibu Nung menjadi terharu dan ikut trenyuh. Pak Umar dilanda depresi berat dan  selang 4 tahun setelah peristiwa hilangnya Yadin, Pak Umar yang berprofesi sebagai pengemudi mobil angkutan barang itu dipanggil oleh Sang Pencipta setelah sebelumnya sakit-sakitan karena menanggung beban pikiran akan raibnya putra satu-satunya yang menjadi tumpuan harapannya. Maka semakin beratlah beban yang harus ditanggung oleh Ibu Nung.

Keadilan yang seadil-adilnya

Beliau tidak mempermasalahkan bagaimana anaknya diposisikan. Apakah sebagai pahlawan, sebagai martir, atau sebagai korban. Yang jelas, sejak peristiwa dua belas tahun lalu itu anaknya belum kembali hingga sekarang. Namun Ibu Nung tetap optimis bahwa pada suatu hari nanti kasus ini akan terungkap sejelas-jelasnya, meskipun selalu “terbentur tembok” di setiap instansi. Sudah berkali-kali republik ini berganti pucuk pimpinan, namun tetap saja kasus ini tidak mendapat tanggapan yang menggembirakan bahkan seperti dipeti-eskan.

“Sakit hati saya memikirkan itu. Tapi saya yakin Allah tidak tuli. Allah tidak buta. Allah Maha Mengetahui segalanya. Semuanya kepunyaan Allah. Dua belas tahun sudah saya terus menanti dan menanti dalam ketidakpastian akan nasib anak saya tercinta. Saya hanya bisa berdoa dan terus berdoa tanpa kenal lelah dan putus asa. Semua itu sudah rencana Allah. Hanya kepada-Nya kita bisa menuntut keadilan yang seadil-adilnya.”  Demikian tutur Ibu Nung dengan mantap dan penuh keyakinan.

“Dulu waktu masih hidup, Cak Munir (KONTRAS) juga sering datang ke sini, sekedar menghibur dan menguatkan hati saya dengan mengatakan bahwa Yadin akan kembali dan kasus ini akan terungkap. Saya sebagai ibunya cuma ingin kejelasan tentang nasib anak saya. Kalau memang dia masih ditahan, tolong tunjukkan pada saya di mana tempatnya. Dan kalau memang dia sudah tidak ada, tolong tunjukkan pada saya di mana kuburnya. Dan apapun yang terjadi, saya sudah ikhlaskan semua. Lelah rasanya jiwa raga ini dua belas tahun menanti dan terus menanti dalam ketidakpastian akan nasib anak saya tercinta. Dia adalah permata hati saya, pelita hidup saya. Namun jauh dalam hati kecil saya merasa bahwa anak saya masih ada. Itulah yang membuat saya tetap kuat bertahan hingga sekarang.” Demikian Ibu Nung menuturkan kepadaku sambil mengusap air matanya. Pada saat wawancara ini berlangsung, Ibu Nung baru kembali dari kongres orang hilang yang berlangsung di kawasan Puncak selama 8 hari. “Bertemu dengan orang-orang yang senasib dengan saya membuat saya sedikit terhibur. Membuat saya merasa tidak sendiri menerima cobaan ini. Banyak orang di Indonesia dan dari berbagai belahan dunia lain seperti Kashmir, Bolivia, Philipina, Thailand, Timor Leste, Myanmar, Argentina, dan negara-negara lain yang bernasib sama seperti saya, bahkan jauh lebih menyedihkan.”

Konvensi Internasional

30 Agustus setiap tahunnya didedikasikan sebagai Hari Internasional untuk Penghilangan Orang Secara Paksa. Dan sidang Komisi HAM PBB pada 29 Juni 2006 di Jenewa sudah mengesahkan International Convention for the Protection of all Persons from Enforced Disappearances (Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa) yang pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa Tidak seorangpun boleh dikenakan penghilangan paksa” dan ayat 2 yang berbunyi Tidak ada situasi luar biasa apapun, apakah keadaan atau ancaman perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya, yang dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk penghilangan paksa”. Dan Indonesia sebagai anggota PBB seharusnya sudah meratifikasi konvensi internasional ini.

Menurut data yang berhasil dihimpun oleh KONTRAS selama kurun 1997/1998 tercatat ada 23 orang telah dihilangkan. Dari jumlah itu, 1 orang ditemukan meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 lainnya termasuk Yadin hingga hari ini masih belum diketahui keberadaannya.

Sungguh ironis. Ketika kami para mahasiswa tengah bersorak sorai di gedung parlemen menikmati euforia tumbangnya rezim terdahulu yang mengkebiri kemerdekaan warganegara dalam menyuarakan pendapat, pada saat yang sama nun entah di mana mungkin Yadin tengah dikurung atau bahkan disiksa dan dirampas haknya sebagai manusia merdeka. Dan ada begitu banyak korban penghilangan paksa seperti Yadin di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kita berharap agar tidak ada lagi Yadin -Yadin yang lain di masa yang akan datang. Semoga...

(Jakarta, Juni 2010 untuk FAR Magazine edisi #9 Agustus - September 2010)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline