Lihat ke Halaman Asli

Relakah Anda Membayar Puluhan Juta Rupiah untuk Pendidikan yang Tidak Dinikmati Anak?

Diperbarui: 27 Maret 2017   19:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

[Om-G, 27032017: Relakah Anda Membayar Puluhan Juta Rupiah Untuk Pendidikan Yang (Akhirnya) Tidak Dinikmati Sedetikpun Oleh Anak Anda?]

Mungkin Om dan Tante pernah mengalaminya. Om atau Tante mempunyai anak, dan ingin bahwa si anak masuk ke sekolah (SMA atau SMP) atau perguruan tinggi negeri favorit. Tapi di jaman ini siapa sih yang bisa menjamin bahwa anak kita bisa diterima di sekolah atau perguruan tinggi negeri favorit?

Sebagai cadangan, jadilah kita mendaftarkan pula anak kita di sekolah atau perguruan tinggi swasta yang menurut kita cukup baik (tetapi mungkin dengan biaya bulanan/semesteran dan lain-lain yang cukup mahal).

Apa yang terjadi? Alhamdulillah, melalui “seleksi administratif”, anak kita diterima di sekolah atau perguruan tinggi swasta tadi, bahkan bisa jadi enam bulan atau bahkan sepuluh bulan sebelum awal tahun sekolah/perkuliahan. Mungkin agar tidak dianggap melanggar aturan, penerimaan itu sering diikuti dengan kata-kata “bila yang bersangkutan telah lulus dari SMA (atau SMP atau SD) dan dapat menunjukkan tanda kelulusannya sebelum awal masa perkuliahan/sekolah”.

Terus? Ya karena anak kita sudah diterima, wajar dong kalau pihak sekolah swasta atau PTS meminta kita untuk segera melunasi biaya sekolah/kuliah. Misalnya untuk SMP/SMA kita diminta melunasi “uang pangkal”,  “uang bangku”, “uang sumbangan pembangunan” atau apapun namanya. Untuk tingkat perguruan tinggi, biasanya diberi “judul” sebagai uang pangkal, uang kuliah tahun pertama, dan uang praktikum (plus uang asrama bila ada). [Dan nominalnya bisa mencapai puluhan juta rupiah! Ini di Bandung beberapa tahun yang lalu lho, entah berapa sekarang, dan entah apakah hal ini pun terjadi di kota-kota lainnya...].

Tentunya ada batas waktu pembayaran, ‘kan? Misalnya dua minggu sampai sebulan setelah anak kita dinyatakan diterima, kita harus melunasinya. Kalau tidak? Ya anak kita dinyatakan “gugur” dong... Nah karena itulah, untuk “pengamanan” pendidikan anak kita, jadilah kita membayar, dengan “aman-aman saja” atau dengan agak memaksakan diri menyediakan uang untuk pembayaran tersebut.

Lalu? Misalnya anak kita ternyata akhirnya diterima di sekolah atau perguruan tinggi negeri favorit. Bahagia dong kita? Ya iya lah, wong anak kita diterima, di sekolah negeri/PTN favorit lagi...

Trus? Ya gitu itu. Bahagia tapi sambil bingung... Lho, kenapa? Lha, masuk sekolah negeri atau PTN juga ‘kan harus bayar, padahal bagi sebagian orang yang pas-pasan, uangnya mungkin sudah habis dibayarkan terlebih dahulu untuk biaya sekolah/kuliah di sekolah swasta/PTS di mana anak kita sudah diterima tadi.

Lha ‘kan gampang, kita minta lagi saja uang yang sudah kita setorkan ke pihak sekolah/PTS tadi, habis cerita... Ya beres, kalau mereka bersedia mengembalikannya. Yang menjadi petanyaan, apakah ceritanya seindah itu? Rasanya dalam banyak kasus tidak seperti itu.

Di beberapa PTS memang ada kebijaksanaan bahwa kita bisa mengambil kembali sebagian dana yang sudah disetorkan, asal kita bisa menunjukkan bukti bahwa anak kita diterima di PTN-PTN tertentu (UGM, UI, ITB, ITS,...); tetapi dengan “potongan” yang cukup besar (bisa belasan juta rupiah atau bahkan lebih...). Ya lumayan deh...

Untuk level SMP/SMA agaknya bisa lebih “parah”... Pada beberapa kasus (mudah-mudahan tidak semua), kita bahkan tidak bisa meminta pengembalian itu. “Ya bukan salah kami dong kalau anak Panjenengan tidak jadi sekolah/kuliah di sini...”. Beres? Ya mau tidak mau, harus dianggap beres. Wong perjanjiannya juga begitu kok...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline