[Kompasiana.com/Om-G, Opini, 15 Des 2015, 33].
Sudah beberapa lama soal perpanjangan kontrak Freeport ini menjadi perhatian masyarakat Indonesia, barangkali diantaranya terpicu oleh hingar bingar sidang MKD berkaitan dengan apakah SN dianggap melanggar etika dan kepatutan atau tidak. Bersamaan dengan itu, ada pertanyaan yang sangat penting yang harus dijawab: Apakah kontrak PT Freeport Indonesia ini sebaiknya diperpanjang atau tidak?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita coba jawab dulu pertanyaan-pertanyaan sederhana ini: (1) Mungkin tidak, kontrak PT Freeport Indonesia tidak diperpanjang pada 2021?, (2) Apa konsekuensinya kalau tidak diperpanjang dan apa plus-minusnya bahwa kontrak Freeport diperpanjang dibandingkan dengan tidak diperpanjang? Dengan menjawab kedua pertanyaan utama tadi, mestinya akan lebih mudah bagi kita untuk menentukan alternatif mana yang harus dipilih di antara ke dua kemungkinan tadi: diperpanjang atau tidak?
Boleh tidak kontrak Freeport tidak diperpanjang setelah masa kontraknya habis? Secara logika sederhana:boleh dan bisa banget! Contoh sederhananya begini: Kalau Anda punya rumah yang kemudian dikontrakkan kepada pihak lain selama dua tahun; lalu setelah dua tahun dan masa kontrak habis, apakah Anda diharuskan untuk memperpanjang kontrak bila yang mengontrak sebelumnya ingin memperpanjang? Ya ndak, toh?
Tentang perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia juga sama persis. Jadi kalau Indonesia sebagai pemilik, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah, memutuskan untuk memperpanjang atau tidak memperpanjang kontrak, ya terserah Indonesia dong...
Apa konsekuensi kalau kontrak tersebut tidak diperpanjang? Secara sederhananya akan ada tiga konsekuensi yang sering dikemukakan: masalah (kemampuan) tenaga kerja Indonesia, masalah teknologi, dan masalah finansial. Begitu, ‘kan?
Baik, mari kita bicarakan satu demi satu:
Bagaimana tentang masalah (kemampuan) tenaga kerja Indonesia?Kalau misalnya kontrak tidak diperpanjang, sanggupkah orang Indonesia meneruskanmengoperasikan perusahaan pertambangan yang kegiatannya kompleks dan berskala besar seperti yang ada di PT Freeport Indonesia? Lha, kenapa tidak sanggup? Sebagian besar karyawan Freeport ‘kan orang Indonesia? Sisanya yang expat pun diteruskan saja bekerja di sana, mereka hanya “berganti baju seragam” kok (yang disebabkan karena kepemilikan perusahaan yang berubah...)[1]. Bagaimana kalau ada yang resign? No problemo! Buka saja perekrutan baru. Di dunia pertambangan rasanya biasa sekali ada penawaran perekrutan secara internasional. Beres toh?
Bagaimana dengan masalah teknologi? Sama saja deh dengan persoalan tenaga kerja tadi. Kalau ada masalah paten atau masalah teknologi lainnya, kita tawarkan saja kepada pemilik paten atau teknologi tadi, mau tidak mereka meneruskannya setelah ada pergantian kepemilikan. Bagaimana kalau tidak? Seperti persoalan tenaga asing tadi, kita buka juga penawaran internasional. Beres juga toh?
Bagaimana tentang masalah finansial? Indonesia ‘kan barangkali tidak punya cukup uang untuk menasionalisasi PT Freeport yang konon bernilai ratusan (atau ribu) trilyun rupiah? Bukankah dana sebesar itu lebih baik digunakan untuk keperluan pembangunan yang lainnya?
Dalam hal ini, tolong bedakan pengertian antara menasionalisasi dan perpanjangan kontrak. Nasionalisasi diartikan sebagai pengambilalihan (oleh Negara) kepemilikan dari usaha yang kontraknya masih berjalan, dan untuk itu kita (Indonesia) harus memberikan ganti rugi kepada perusahaan yang dinasionalisasi tadi. Hanya dalam kasus inilah mestinya diletakkannya pertanyaan tentang apakah negara mempunyai uang, dan apakah uang (yang nominalnya sangat besar) tadi dialokasikan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan yang dinasionalisasi ataukah lebih baik dipergunakan untuk keperluan pembangunan yang lain.