[Kompasiana.com/Om-G, Oktober 2015].
Ya pasti lah Om-G juga setuju. Tapi seberapa besar naiknya? Memang sih UMR (Upah Minimum Regional) atau UMK (Upah Minimum Kota) yang diterapkan di Indonesia untuk propinsi atau kota, di manapun, mungkin masih dirasakan kurang bila dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari para karyawan (dan keluarganya). Apalagi bila para karyawan tersebut juga mempunyai keluarga (anak-anak) yang memerlukan biaya untuk sekolah mereka.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, Pemerintah pun mengharuskan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk memberikan THR kepada para karyawannya, agar sedikit banyaknya mereka dapat merayakan Lebaran, dengan sesederhana apapun.
Dengan adanya inflasi (dengan harga-harga komoditas, termasuk harga bahan-bahan kebutuhan pokok yang meningkat) tentu wajar pula bahwa para karyawan mempunyai keinginan agar gaji, upah, atau pendapatan mereka ikut naik pula.
Kalau keinginan para karyawan mah tentunya ingin yang sebesar-besarnya, tapi sampai seberapa besar sih yang wajar itu? Jangan sampai gaji karyawan yang besar tadi malah bikin perusahaannya jadi bangkrut. Lha kalau perusahaan bangkrut, para karyawan juga akan kehilangan sumber nafkahnya, ‘kan? Jadi, boro-boro menikmati gaji yang besar (dalam jangka panjang), yang ada malah di-PHK dan tanpa gaji.
Maaf jangan salah sangka lho, Om-G juga karyawan biasa, yang nggak punya pabrik, perusahaan atau bisnis apapun. Om-G juga bukan mau berpihak kepada para direktur, pengusaha atawa sang pemilik perusahaan. Tapi rasanya mah pemikiran ini juga logis, ‘kan? Lha, siapa yang mau membayar gaji karyawan kalau perusahaannya sudah meninggal...
Om-G, masa sih upah karyawan naik bisa bikin perusahaan jadi bangkrut? Lha ya sederhana sekali: upah karyawan itu ‘kan merupakan salah satu komponen biaya produksi, dan biaya produksi ini setelah ditambah dengan biaya distribusi, promosi, pajak dan lain-lain, akan menjadi harga jual. Bila upah naik, lalu harga jual naik, kadang-kadang (atau seringnya, bila barang tersebut sensitif terhadap harga), maka hal itu akan berpengaruh terhadap daya saing produk tersebut dalam menghadapi saingan-saingannya.
Jadi bagaimana, Om-G ingin bilang bahwa upah karyawan jangan dinaikkan, nih? Yé nggak gitu atuh, sama sekali tidak begitu... Bagaimana atuh agar pak Pemilik (dan manajemen) perusahaan setuju untuk menaikkan upah karyawan tapi daya saing produk juga tetap tinggi?
Caranya mungkin begini:
- Tingkatkan produktivitas karyawan. Konon katanya para pengusaha tidak berkeberatan dengan upah yang tinggi, asal produktivitas karyawan juga tinggi. Misalnya diukur dengan berapa pieces produk per karyawan per satuan waktu, lalu ratio ini dibandingkan dengan perusahaan sejenis, termasuk dengan perusahaan di luar negeri. Nah kalau ratio di perusahaan kita lebih besar (atau paling tidak, sama besar), boleh dah upahnya juga tinggi. Mungkin ini yang bisa menjelaskan mengapa produk-produk dari Jepang misalnya bisa laku di negara-negara lain, termasuk di negara kita, walaupun di Jepang konon katanya biasa saja kalau upah karyawan itu besarnya antara 20-25 juta rupiah per bulan.
Nah bagaimana atuh dengan di Indonesia, bagaimana produktivitas karyawannya bisa tinggi, ‘kan industri di Indonesia mah tidak serba robotics? Kata Om-G mah ya kita jangan (dulu) menerapkan robotics secara massive di industri, ntar penyerapan tenaga kerjanya sedikit atuh kalau semuanya sudah diotomatisasi mah, apalagi harga teknologi robotics ‘kan juga tidak murah...
Bagaimana kalau untuk para karyawan yang ada di perusahaan diadakan upah insentif (sebagai tambahan dari upah sebelumnya, yang UMR atau UMK tea...) berdasarkan prestasi masing-masing karyawan, misalnya berdasarkan jumlah barang yang dihasilkan per jam atau per hari (tentunya yang dihitung adalah jumlah produk yang bagusnya saja, dengan tidak memperhitungkan jumlah produk yang cacat). Jadi karyawan yang menghasilkan jumlah produk baik lebih banyak akan menerima upah yang lebih banyak pula daripada karyawan yang menghasilkan jumlah produk yang lebih sedikit.