Lihat ke Halaman Asli

Menegasikan Teoritik dan Sibernetik Sastra Postmodern

Diperbarui: 15 Januari 2017   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Multikulturalisme di Indonesia juga menyentuh kesusastraan. Sejak awal mula berdirinya negara Indonesia pada pemerintahan presiden pertama telah muncul Manikebu yang manifestasinya terhadap sastra berbeda pandangan dengan Lekra. Bahkan lebih jauh bisa saja pergesekan paham sastra telah terjadi sebelum bangsa ini menyatakan merdeka. Bisa jadi kesusastraan kerajaan nusantara yang notabene islam pernah menelurkan karya yang tidak sejalan dengan karya kerajaan Hindu maupun Budha.

Di era modern tentu diantara sebagian penikmat sastra akan atau setidaknya mengalami fase subversi antara sastra islami dengan sastra selangkangan. Keduanya tentu saja mempunyai pengaruh dan penikmat masing-masing. Sastra islami diadaptasi dan diakuisisi oleh Forum Lingkar Pena sedangkan sastra selangkangan membesarkan pengaruhnya bersama Komunitas Utan Kayu.

Selebihnya sudah bisa ditebak, keduanya saling mempengaruhi dan melegitimasi atas apa yang mereka yakini. Opini dan pendapat berseliweran di media massa yang menyangkut hajat sastrawan kedua kubu tersebut. Lebih herannya, orang yang tak tahu sastra juga ikut-ikutan menghakimi pengarang dari sudut pandang subjektif tanpa pernah membaca karangan yang tidak sejalan dengan mereka.

Sekarang, meskipun intensitas perdebatan sastra tidak sehiruk-pikuk dulu, akan tetapi ritme-ritme para sastrawan masih menunjukkan gelagat atas pengaruh yang diyakini lewat media yang siap dan bersedia memuat tulisan juga gagasannya. Lalu, perdebatan atas sekte sastra itu sebenarnya untuk menunjukkan apa? Jawaban sederhana, tentu terkait aliran sastra mana yang lebih ideal untuk masyarakat di Indonesia.

Terlebih, komersialisasi media atas karya sastra membuat bebal serta dungu para penikmat yang mencoba mencari tahu lewat viral online. Ia menjadi realitas kebebasan informasi yang juga terjadi di setiap dunia, di mana setiap individu dapat dengan seenaknya meneguhkan kebenarannya sendiri, melegalkan keyakinanya sendiri, bahkan menghukum dan menjatuhkan hukum tak layak bagi kenyataan orang lain.

Susastra dalam tiap fase --entah itu tempat maupun periode tahun-- tidak anjeg (tetap). Sastra yang ideal memang tidak pernah ditemukan secara penuh. Dengan pengertian,  mungkin dan sangat bisa jadi ketidakbepihakan dari perorangan maupun secara kelembagaan. Dalam karya misalnya Pramoedya Ananta Tour tidak diakui oleh sastrawan yang seangkatan dengan dia lantaran beberapa perbedaan latar sosial politik pada waktu itu, sebut saja yang berseberangan laiknya Moehtar Lubis.Terbukti ketika pengarang Bumi Manusia dianggap tidak layak menerima penganugerahan Magsaysay oleh pengarang Senja di Djakarta. 

Polemik sastra yang dipengaruhi aliran sosial politik itu menunjukkan kegelisan yang dibawa-bawa sampai relung sastra sekalipun. Bagaimanapun juga, jarang ada kaya sastra yang memenuhi keseluruhan keinginan manusia lain sehingga terhindar dari kritik sastra itu sendiri, ada semacam kecocokan satu orang dengan yang lain dalam menikmati serta menghargai sastra.

Secara lebih langsung, aliran atau apapun dalam ranah karangan manusia masih memiliki kekurangan yang nampak dari kekurangtahuan orang lain atau sebaliknya. Dulu, ketika Orde Baru karya sastra mendapatkan momentumnya ketika menyinggung sosial politik yang mengedepankan aspirasi rakyat. Berbeda dengan orde lama atau awal kemerdekaan Indonesia yang merekam romantisisme kawin paksa, juga sesekali mendobrak adat istiadat daerah tertentu di Indonesia.

Sedangkan kini, sastra lebih unggul pada kecenderungan surealis berpesan. Misalnya Salawat Dedaunan karya Yanusa Nugroho sampai Kunang-kunang Di Langit Jakarta gubahan Agus Noor. Keduanya merekam hal yang berbau diluar kuasa manusia dan sarat akan pesan moral terhadap agama maupun sosial masyarakat.

Dari semua itu sastra yang menjual bukan hanya keterkaitan tentang aliran sastra yang digunakan. Lebih dari itu sastra yang menarik itu terkait erat dengan ide dan cara seorang pengarang menyajikan tulisan. Entah itu dialog yang digunakan atau karakter yang ditampilkan sebagai objek yang mampu hidup dan membekas di hati pembaca. Lebih-lebih, pengarang mampu menghadirkan informasi yang luwes dan terbilang baru untuk generasi yang akan datang. Lihat saja Arus Balik karya Pramoedya Ananta Tour yang mampu melewati batas usia sang pengarang.

Lebih tepatnya, sastra tidak mungkin didekati dengan lembar pengkultusan “benar” atau “salah”, akan tetapi sejauh mana ia menggugah dan kemudian sebagaimana organisme yang hidup memancarkan kecerahannya kepada pembaca.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline