Oktober, bulannya kesehatan mental dunia yang diperingati tanggal 10 disetiap tahunnya. Pada tahun 2023 ini WHO mengusung tema "Our minds, our rights" untuk memperingati hari kesehatan mental dunia.
Setiap peringatan hari kesehatan mental dunia berbagai elemen masyarakat berbondong-bondong menyerukan pentingnya kesehatan mental. Indikator SEHAT menurut world health organization sendiri selain sehat secara fisik yang terbebas dari berbagai gangguan, juga sehat secara mental yang juga terbebas dari berbagai macam gangguan.
Bagaimanakah dengan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia?
Tahun 2018 lalu saya menjalankan program KKN dari Kampus, saya bersama kelompok ditempatkan disebuah Desa yang terletak di Kabupaten Bandung. Pada awal kedatangan seperti program KKN pada umumnya kami melakukan perkenalan lingkungan, kemudian memetakan masalah dan sumber daya apa saja yang bisa kami olah menjadi sebuah program.
Setelah program tersusun dan mulai berjalan, kami baru mengetahui bahwa di Desa tersebut ternayata ada beberapa warga yang mengalami gangguan kesehatan mental. Fakta permasalahan tersebut kami dapat dari seorang kader PKK di Kantor Desa, padahal pada saat kami menggali data dan informasi permasalahan tidak ada satupun yang memberi tahu kami bahwa Desa tersebut memiliki warga yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Kami mencoba menggali lebih dalam lagi terkait permasalahan tersebut kepada seorang kader tersebut. Hingga tahun 2019 terakhir saya berkunjung ke Desa tersebut terdapat lima warga yang menderita gangguan kesehatan mental dari total jumlah penduduk saat itu 9.075. Tiga dari lima penderita gangguan kesehatan mental di Desa tersebut ada pada usia produktif.
Dari lima penderita gangguan kesehatan mental tersebut baru tiga orang yang mendapatkan layanan pemulihan kesehatan mental oleh psikiater maupun psikolog. Dua lainnya keluarga tidak mengizinkan dengan alasan malu. Satu penderita gangguan kesehatan mental menurut penuturan keluarganya sudah dialami sejak usia Sekolah Dasar, pada akhirnya dia tidak melanjutkan sekolah.
Dua diantara lima penderita tersebut bahkan ada yang pernah mengalami pasung hingga belasan tahun baru diketahui beberapa tahun yang lalu. Mengetahui ada warga yang mengalami pasung, pada saat itu kader tersebut segara meminta bantuan dokter di puskesmas kecamatan untuk berupaya mengedukasi keluarganya agar mau melepas pasung dan menjalani pemulihan oleh ahlinya.
Untuk mendapatkan layanan pemulihan kesehatan mental warga disana harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan biaya taransport yang tak sedikit. Tak jarang ibu kader tersebut merogoh kantongnya sendiri untuk biaya transport dan makan baik untuk dirinya, keluarga pasien, pasien dan sopir yang mengantar mereka ke Rumah Sakit.
Menurut Ibu kader tersebut masih minim bantuan untuk mendapatkan layanan pemulihan kesehatan mental bagi masyarakat yang kurang mampu. Terakhir pada tahun 2019 saya berkunjung ke Desa tersebut masih dengan kondisi yang sama, dua orang penderita pihak kelugarga belum mau menjalani upaya pemulihan, dan tiga lainnya masih rutin menjalani pemulihan.