Standar kecantikan wanita Indonesia dinilai dari fisiknya. Standar kecantikan tersebut yaitu berkulit putih bersih, bertubuh langsing, rambut hitam lurus, tinggi semampai dan bergigi rapi. Hal tersebut membuat banyak wanita di Indonesia merasa kurang percaya diri dan membuat para wanita lebih memerhatikan tampilan luar saja. Sehingga tak sedikit wanita melakukan berbagai macam cara untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, yaitu dengan cara menggunakan filter foto dan skincare.
Filter foto menjadi salah satu cara yang digunakan wanita untuk memenuhi standar kecantikan serta menambah rasa kepercayaaan diri seorang wanita. Filter facetune dengan teknologi AI atau augmented-reality dapat mengubah bentuk muka kita menjadi lebih bersinar dan cantik, yang dilansir dari Fimela.com. Hal itu membuat seseorang merasa percaya diri dalam bersosial media. Beberapa wanita secara diam-diam merasa tidak suka dan selalu membandingkan bentuk wajah, mata, bibir, dan warna kulit, saat menggunakan filter foto.
Skincare juga merupakan salah satu alat yang digunakan wanita untuk memenuhi standar kecantikan di Indonesia. Tidak sedikit wanita yang menginginkan kulit cepat putih, tanpa memedulikan produk skincare yang digunakan sudah legal ataukah ilegal. Sehingga banyak wanita yang menjadi korban dari produk skincare ilegal. Dilansir dari m.merdeka.com, YLKI mencatat jumlah pengaduan skincare ilegal tergolong kecil. Dalam setahun pengaduan skincare ilegal kurang dari 5 persen atau tidak sampai 10 pengaduan. Dapat diakui masih lemahnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai bahayanya skincare ilegal.
Pembentukan standar kecantikan sudah ada di masa kolonial Belanda, yaitu putih tak selalu dikaitkan dengan ras, melainkan sekadar warna. Hal ini dijelaskan oleh Luh Ayu Saraswati, Profesor Kajian Wanita dari Universitas Hawaii, yang dilansir dari magdolene.co. Standar kecantikan berkulit putih menjadi permasalahan yang membuat seorang wanita memiliki rasa kurang percaya diri dalam dirinya.
Selain itu juga bisa berdampak pada kesehatan mental seorang wanita, misalnya kehilangan kepercayaan diri, gangguan depresi, gangguan makan, dan lain-lain. Bisa dikatakan, standar kecantikan di Indonesia menjadi dampak negatif dari generasi ke generasi.
Wanita harus mencintai diri sendiri dan tidak harus berpatokan dengan standar kecantikan adalah cara untuk mengatasi ketidakpercayaan diri. Wanita tidak hanya mencintai diri sendiri, ada juga dengan cara mandiri ataupun berperilaku sopan dan santun. Hal itu salah satu upaya secara perlahan menghilangkan adanya standar kecantikan. Mandiri dapat di definisikan seperti mengandalkan kemampuan diri dalam menghadapi berbagai macam persoalan hidup dan memberikan sudut pandang yang baru.
Seseorang yang mandiri mempunyai pandangan dan cara tersendiri untuk diterima di lingkungan sosial, bukan hanya sekedar mengikuti standar kecantikan yang ada. Seseorang belum dikatakan mandiri apabila masih terpengaruh dengan adanya standar kecantikan hanya untuk diterima di lingkungan sosial. Seseorang yang berkulit gelap, berkulit sawo matang, berkulit kuning langsat, rambut keriting, rambut bergelombang, rambut ikal, rambut lurus, bertubub tinggi, bretubuh pendek, bertubuh gendut, maupun kurus asal mereka bahagia tidak masalah dan itu termasuk ke dalam seorang yang mandiri.
Hal itu cenderung membuat lingkungan akan menerima mereka yang memberikan suasana positif daripada sekedar mengikuti standar kecantikan. Mandiri membuat seseorang memiliki daya tarik tersendiri. Daya tarik seperti tentang pembawaan, kemampuan, dan keahlian diri bukan hanya tentang fisik saja. Wanita mandiri jauh lebih memesona dari pada wanita yang cantik fisiknya saja.
Wanita cantik yang yang sesungguhnya tidak hanya dilihat dari tampilan fisiknya. Melainkan dilihat dari sikap, sifat dan tutur kata. Wanita dilihat dari sikapnya, yaitu memiliki sikap sopan dan santun terhadap orang lain. Wanita dilihat dari sifat, yaitu memiliki sifat baik hati, rendah hati, pemaaf, penyabar, dan murah senyum. Wanita dilihat dari tutur kata, yaitu menggunakan tutur kata yang baik dan tidak berkata kasar.
Oleh : Putri Sabrina dan Amira Putri
Politeknik Negeri Semarang