Lihat ke Halaman Asli

Generasi Hedonisme: Antara Gaya Hidup Elit dan Kenyataan Pahit

Diperbarui: 31 Mei 2024   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di era digital ini kita dapat dengan bebas mengunggah apapun di media sosial, sehingga apa yang ditampilkan di media sosial sering kali tidak sesuai dengan kenyataan. Banyak dari anak muda jaman sekarang yang menampilkan gaya hidup elit seperti memakai barang branded, liburan mewah, dan lain sebagainya hanya untuk diakui sebagai bagian dari circle elit. Namun sayangnya dibalik itu semua banyak realitas pahit yang tidak jarang terabaikan karena kebanyakan dari mereka justru terjebak dalam kesulitan ekonomi.

Fenomena ini dikenal sebagai hedonisme di mana gaya hidup yang serba mewah dan konsumtif sering kali dipertontonkan di media sosial, menciptakan ilusi kehidupan sempurna yang harus diikuti. Ironisnya, di tengah gempuran gaya hidup glamor ini, banyak dari mereka yang justru kesulitan dalam hal ekonomi, tidak sebanding dengan penghasilan yang dimiliki. 

Fenomena ini menciptakan paradoks: di satu sisi, ada tuntutan untuk tampil serba wah dan berkelas, sementara disisi lain banyak anak muda yang harus menghadapi realitas pahit ekonomi yang tidak mendukung gaya hidup tersebut. Ini memicu pertanyaan penting: bagaimana kita sampai pada titik ini, dan apa dampaknya bagi generasi mendatang?

Permasalahan utama yang melatarbelakangi hedonisme anak muda saat ini adalah pengaruh media sosial yang sangat kuat. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menampilkan kehidupan selebriti dan influencer yang penuh dengan kemewahan. Hal ini menciptakan tekanan sosial bagi anak muda untuk mengikuti tren tersebut, meskipun harus berhutang atau mengorbankan kebutuhan dasar. Selain itu, kurangnya edukasi finansial juga turut berperan dalam masalah ini. 

Banyak anak muda yang tidak memahami pentingnya menabung dan investasi, sehingga mereka lebih memilih untuk membelanjakan uang mereka untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif dan tidak berkelanjutan. Padahal, dengan kondisi ekonomi yang tidak menentu, kemampuan untuk mengelola keuangan menjadi sangat krusial.

Contoh konkret bisa dilihat dari maraknya penggunaan kartu kredit dan pinjaman online oleh generasi muda. Menurut data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pengguna kartu kredit dan pinjaman online meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan sebagian besar pengguna berasal dari kalangan anak muda. Hal ini menunjukkan bahwa banyak dari mereka yang memilih jalan pintas untuk memenuhi gaya hidup mereka, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. 

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Orang tua harus lebih aktif dalam memberikan edukasi finansial kepada anak-anak mereka sejak dini, agar mereka lebih bijak dalam mengelola keuangan. Sekolah dan institusi pendidikan juga perlu memasukkan materi tentang manajemen keuangan dalam kurikulum mereka.

Selain itu, pemerintah dan lembaga terkait harus meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan kartu kredit dan pinjaman online, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang risiko dan cara mengelola utang dengan bijak. Dengan demikian, diharapkan generasi muda dapat terhindar dari jebakan hedonisme yang hanya akan membawa mereka ke dalam kesulitan ekonomi. 

Akhirnya, sebagai individu, kita harus menyadari bahwa kebahagiaan dan keberhasilan tidak diukur dari seberapa mewah gaya hidup kita, tetapi dari bagaimana kita bisa hidup dengan bijak dan seimbang, tanpa harus mengorbankan masa depan kita demi kepuasan sesaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline