[caption caption="Prasetyo, Jokowi & Ahok (konfrontasi.com) "][/caption]Deparpolisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengurangi jumlah partai. Definisi menurut KBBI adalah seleksi alam pengurangan Partai politik melalui Pemilu karena parpol peserta pemilu tidak memenuhi parliamentary treshold (PT) yang ditentukan.
“Deparpolisasi” yang dipopulerkan Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah PDIP DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mempunyai makna yaitu meniadakan peran partai politik. Yang disebabkan oleh fenomena menguatnya calon kepala daerah melalui independen sebagai jalur alternatif.
Secara substansi, peniadaan peran parpol dalam pemilu sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009. Yaitu sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Uji Materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu pasal 214 huruf a, b, c, d, e yang diajukan oleh Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria. MK mengabulkan penetapan caleg untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak.
Dengan dikabulkannya uji materi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan yang sangat revolusioner pada Pemilu legislatif. Figur menjadi dominan dan sangat penting. Jauh lebih penting dibanding parpol pengusung itu sendiri. Pertimbangan sebagian besar pemilih adalah karena figur bukan parpol. Parpol tidak lebih sekedar tiket. Fenomena Jokowi, Roma Irama sebagai icon untuk mendulang suara parpol, langsung maupun tidak langsung parpol tidak jualan ideologi melainkan jualan figur.
Partai politik bukan lagi merupakan kumpulan warga yang mempunyai ideologi yang sama. Pemilu legislatif bukan lagi pertarungan antar partai politik karena perbedaan ideologi. Pertarungan dan persaingan yang sangat keras antar caleg-caleg justru terjadi diinternal masing-masing parpol.
Praktek sosialisasi dan penggalangan suara Pileg di lapangan. Yang terjadi justru kerjasama diantara parpol yang berbeda. Misal, satu tim sukses menangani pileg dengan paket Caleg DPRRI No. urut 1 Partai A, Caleg DPRD Provinsi No. urut 1 Partai B dan Caleg DPRD Kabupaten/kota No. urut 1 partai C. Praktis dalam pelaksanaan sosialisasi tidak mungkin menonjolkan parpol melainkan nama caleg dan no. urut saja.
Seandainya partai politik mau mengakui secara jujur selain yang terjadi pada Pemilu legislatif. Dalam Pemilukada, pertimbangan utama mengusung calon kepala daerah karena figur tersebut mempunyai popularitas dan elektabilitas tinggi, bukan pertimbangan karena kesamaan ideologi, sebenarnya parpol sedang men-deparpolisasi dirinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H