[caption caption="Heru & Jokowi _sewarga.com"][/caption]Awal bulan Agustus adalah batas waktu penyampaian berkas dukungan calon gubernur Independen. Formulir dukungan beserta KTP harus sudah disetor ke KPU untuk diverifikasi. Sementara, diputuskannya nama Heru Budi H sebagai cawagub, “Teman Ahok” harus mengkonfirmasi pada masing-masing pendukung/pemilik KTP. Agar saat verfikasi faktual oleh KPU dapat diminimilisir kegagalannya.
Ahok bukanlah pejabat PDIP. Posisi tawar Ahok sangat lemah. Waktu yang terbatas, dinamika internal PDIP. Mustahil PDIP bisa mengambil keputusan secara cepat.
Dinamika internal PDIP antara lain disebabkan sikap Ahok terhadap anggota dewan. Sikap tanpa kompromi dan frontal sangat tidak bisa diterima hampir seluruh anggota dewan termasuk kader-kader PDIP di DPR. Hak angket yang pernah digagas DPRD DKI adalah bukti ketidak sukaan sebagian besar anggota DPRD DKI.
Sikap tanpa kompromi itu diaplikasikan dalam kebijakan manajemen pengelolaan anggaran pemprov DKI yang serba transparan. Transparansi data APBD, transparansi pengambilan keputusan, pelibatan LSM mengawal penggunaan anggaran, e-musrenbang dan e-budgeting. Hal itu sangat menyulitkan oknum-oknum anggota dewan untuk mempermainkan anggaran.
Seandainya anggota DPRD DKI ditanya apakah setuju Ahok menjabat lima tahun lagi? Hampir pasti sebagian besar anggota dewan tidak akan setuju. Pilih mana? Ahok, Sandiaga Uno atau Ridwan Kamil (seandainya jadi maju). Jelas DPR pilih Kamil yang telah terbukti tidak pernah berseteru dengan DPRD. Karena Kamil sangat akomodatif terhadap aspirasi dewan. Atau Sandiaga Uno seorang pengusaha kaya, lemah lembut & sopan yang tidak asing dengan urusan lobi-melobi.
Fenomena Pilkada di banyak daerah. Beda DPP, beda simpatisan dan beda elit parpol di daerah. DPP menargetkan sebanyak-banyaknya kader menang. Simpatisan parpol, kemenangan calon yang diusung adalah sebuah kebanggaan. Bagi oknum-oknum elit parpol yang menjadi anggota dewan justru sebaliknya. Mereka lebih nyaman jika kepala daerah bukan dari parpol yang sama. Dengan parpol yang berbeda anggota dewan mempunyai posisi tawar. Jika satu parpol, otomatis mereka sekedar menjadi tukang stempel kebijakan kepala daerah. Semakin sopan kepala daerah semakin anggota dewan gembira. Kepala daerah model Ahok tidak masuk kriteria yang membahagiakan angggota hewan.
Kondisi seperti itu menjadikan oknum elit PDIP DKI menekan DPP dengan berbagai macam cara untuk tidak mencalonkan Ahok.
Melihat realita tersebut, keputusan Basuki Tjahaya Purnama (BTP) maju bersama Heru Budi Hartono (HBH) melalui jalur independen pada Pilgub 2017 bersama Teman Ahok adalah keputusan yang paling realistis dan sangat rasional.
PR Basuki - Heru bukan di penggalangan suara. Karena Ahok-Heru telah memiliki pendukung-pendukung militan di berbagai tingkatan masyarakat yang sulit digoyahkan. Dan kemenangan pilkada di berbagai daerah, struktural parpol bukanlah penentu. Mesin & jaringan Parpol hanya digunakan untuk kegiatan yang sifatnya formal. Seperti petugas saksi. Penentu kemenangan adalah relawan yang terorganisir dan solid. Penggalangan suara Pilkada sangat berbeda dengan penggalangan pileg. Dibutuhkan tim yang bisa masuk dan menjangkau kesegala komunitas. Pe-eR paling utama BH adalah pengggalangan dana untuk biaya kampanye.
Pilgub DKI 2017, bukan sekedar ajang kompetisi siapa mendapat suara terbanyak. Faktor kebencian, dendam, sara, rasis menjadikan persaingan Pilgub menjadi sangat keras. Jauh lebih keras dibanding 2012.
Seandainya pilgub lebih dari tiga pasangan calon, dimungkinkan terjadi dua putaran. Putaran kedua, aroma Pilpres di Pilgub DKI akan sangat terasa. Head to head Basuki-Heru vs Sandiaga Uno-Mr x adalah pertarungan antara Megawati vs Prabowo.