Semarang En Erstecht Venetie. Schimmen Glitsering Bekoorin; Semarang Venesia dari Timur. Indah berkilauan. Julukan yang disematkan oleh Ratu Belanda, Wilhelmina III, pada kota yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke-469 pada 2 Mei lalu. Kota yang kembali saya sapa setelah 3 (tiga) tahun berlalu kala terakhir kali mampir menikmatinya meski hanya sesaat dalam perjalanan singkat ke Lasem kala itu. Menyapanya pagi ini, membangkitkan kerinduan untuk menikmati getar kenangan yang tersimpan pada ikon-ikon kota yang pernah dijejaki bersama.
Bincang kenangan bersamanya dibuka dengan semangkok Soto Ayam Khas Semarang Pak Man di kawasan Pamularsih. Sedikit nasi yang ditempatkan di dalam mangkok, diberi suwiran ayam, irisan bawang putih dan merah goreng, daun bawang, beberapa lembar kecambah rebus, diberi irisan tomat dan disiram dengan kuah soto panas yang bening. Sangat pas dengan selera lidah yang tak terlalu menyukai soto pekat. Menikmatinya ditemani penganan berupa sate telur puyuh, dan sate jeroan ayam serta tempe goreng dan perkedel. Seperti memutar kembali roda masa dengan arah yang terbalik. Tiga tahun lalu Pamularsih adalah tempat terakhir yang dikunjungi dengan bertandang ke rumah Raja Gula Semarang, Oei Tiong Ham. Namun hari ini, ia menjadi tempat untuk mengawali hari di Semarang.
Sebagai kota pelabuhan penting di pesisir utara Jawa sedari abad ke-8 di samping Tegal dan Jepara, Semarang dari masa ke masa menjadi tempat persinggahan para penjelajah, pejalan, pedagang yang datang dari ragam etnik dari berbagai bangsa. Mereka yang berlabuh ada yang sekadar mampir, ada pula yang datang untuk mencari peruntungan, tinggal dan berbaur dengan warga pribumi. Salah satu yang diyakini telah lama bermukim di Semarang adalah etnik Tionghoa. Sayangnya tak ada tahun yang jelas kapan mereka mulai bermukim di sekitar Gedong Batu (Simongan), meski beberapa catatan sejarah mencatat kemungkinan mereka telah tinggal di sana sejak tahun 921 Masehi, jauh sebelum Cheng Ho menjejak di tempat yang sama.
Adalah satu kehormatan bagi etnis Tionghoa yang bermukim di Simongan ketika pada 1406 dikunjungi oleh seorang utusan Kaisar Tiongkok, Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho yang berjumlah 300 kapal besar membawa kurang lebih 28,000 orang yang memiliki keahlian seperti tentara, dokter, perawat, pedagang, ahli pertanian, dan penulis, meninggalkan Tiongkok untuk melakukan muhibah keliling dunia dengan membawa misi militer, perdagangan dan kebudayaan. Di tempat yang diyakini menjadi tempat berlabuhnya Cheng Ho, di tengah-tengah komplek pemujaan Klenteng Sam Po Kong menjulang patung Laksamana Cheng Ho yang banyak menarik wisatawan untuk bergambar di depannya. Pada salah satu dinding di komplek ini, pengunjung disuguhi relief potongan perjalanan Cheng Ho.
Kedatangan para pendatang yang kemudian menetap di Semarang, melahirkan akulturasi budaya, Jawa dan Tionghoa. Pembauran paling gampang terlihat dalam keseharian masyarakatnya lewat makanan yang tersaji di rumah-rumah makan. Cobalah datang ke Restoran Semarang dan nikmati sajian hidangan tradisional kampung yang ada di sana. Dua sajian yang saya suka adalah Lontong Cap Gomeh dan Loenpia Semarang. Menurut Jongkie Tio, pemilik Restoran Semarang, ada filosofi di balik lahirnya Lontong Cap Go Meh. Ia terinspirasi dari ketupat yang menemani Opor Ayam yang dihantarkan ke rumah warga Tionghoa ketika lebaran datang. Untuk membalas hantaran tetangganya yang muslim tersebut, sang babah mereka ketupat dibentuk bulat-bulat yang melambangkan bulan purnama. Lontong itu kemudian dihidangkan dengan 12 macam makanan pendamping. Campuran hidangan dalam sepiring Lontong Cap Go Meh melambangkan harmonisasi yang harus dimakan secara satu kesatuan.
Untuk melihat akulturasi budaya yang mungkin akan membuatmu sedikit terperanjat, datanglah ke Boen Hian Tong atau Rasa Dharma; perkumpulan warga Tionghoa yang berdiri pada 1876 di Semarang. Masuklah ke dalam, pada sebuah ruang yang ditutup dengan teralis terdapat altar. Di depan altar utama, bertengger sinci. Satu sinci yang berdiri tegak di tengah sinci-sinci yang lain menarik perhatian. Padanya jelas terbaca satu nama yang tak asing, KH. Abdurrahman Wahid. Itulah satu bentuk penghargaan yang mulia dari perkumpulan warga Tionghoa Semarang untuk Gus Dur yang pada 2014 lalu dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia.
Perkembangan kota menuntut akselerasi mobilitas warganya. Maka, pada masa pemerintahan Belanda sarana transportasi pun menjadi perhatian pemerintah untuk dikembangkan di kota ini. Pada 1867 Gubernur Jenderal Baron van den Beele membuka jalur kereta api pertama yang menghubungkan Semarang dengan Temanggung yang dikelola oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Seiring bertambahnya aktivitas dan personil di NIS, dibangunlah sebuah kantor untuk pelayanan kereta api di tengah kota Semarang yang gedungnya sampai hari ini masih dapat dinikmati keindahannya, Lawang Sewu. Sejarah perkeretaapian dapat dilihat pada ruang pamer di salah satu bagian gedung.
Kedatangan Belanda pun membawa perubahan pada tata kota, termasuk hadirnya ajaran Kristen di Semarang. Untuk memenuhi kebutuhan akan tempat ibadah, pada 1750 sebuah gereja dibangun di kawasan Kota Lama Semarang oleh Pdt J. Lipsus. Pada 1894 gereja lama mengalami renovasi, kini di tempat yang sama berdiri bangunan gereja dengan arsitektur bergaya Eropa. Warga Semarang menyebutnya Gereja Blenduk karena pada bagian atasnya terdapat sebuah kubah besar yang menggelembung (=blenduk).
Tetiba ada air yang tumpah dari langit, jatuh di atas kepala. Saya terlempar kembali ke masa kini. Berdiri berhimpitan dengan warga yang tumpah di Kota Lama Semarang, di depan Gereja Blenduk. Basah oleh keringat dan lelehan air mata bahagia yang dikucurkan oleh semesta. Semarang malam ini semarak, merayakan hari ulang tahunnya. Gempita tetabuhan bergema ditabuhkan oleh Drum Band Taruna dari PIP Semarang, di belakangnya lenggak–lenggok peserta parade dengan kreasi kostum beragam model, berwarna-warni.
Tak peduli air terus tercurah dari langit, kami pun terus saja terpesona pada gelaran Semarang Night Carnival yang dibuka oleh Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi. Sebuah pesan mengemuka darinya untuk disampaikan kepada Nusantara,”Inilah Semarang dengan potensi wisatanya yang terus berbenah untuk menyambut tetamu dari penjuru Nusantara datang menikmatinya.”
Ya, inilah Semarang, dengan akulturasi budayanya yang tetap terjaga, teruji oleh perputaran masa. Pukul 21.00 ketika sebagian warga yang sedari petang bersetia di Kota Lama satu-satu pulang ke rumah, saya meninggalkan Blenduk mengayun langkah ke Spiegel. Memesan secangkir Banana Orange Mint untuk merayakan syukur diberi kesempatan kembali ke kota ini. Selamat malam Semarang, terima kasih telah berbagi kenangan bersama, saleum [oli3ve].