Lihat ke Halaman Asli

Olive Bendon

TERVERIFIKASI

Travel Blogger

Achmad Mochtar, Bapak Sains Indonesia

Diperbarui: 21 Juli 2015   10:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penghargaan apa yang selayaknya diberikan kepada seseorang yang merelakan nyawanya dicabut paksa demi membela bangsa, profesi dan rekan sejawat di tempatnya berkarya? Yang dengan segala konsekuensi mengambil keputusan berat mengaku bersalah atas kesalahan yang tak dilakukannya, dihilangkan tanpa jejak, meninggalkan kesedihan pada keluarga yang dikasihi. 

Panggilan jiwa membawa langkah kembali ke Ereveld Ancol pertengahan Juni 2015. Ini adalah kunjungan ketiga setelah bertandang ke sini Juli 2006 dan Agustus 2013 lalu. Pada kunjungan terakhir, saya mendapatkan kisah menarik tentang “penemuan” jejak akhir Kepala Lembaga Penelitian Eijkman yang meninggal pada 1945, yang membuat tubuh merinding. 

Tujuan saya ke sini bukan untuk mengunjungi peristirahatannya. Ada tugas lain yang sedang dikerjakan. Namun, saat mondar-mandir menyusuri setiap nisan mencari sebuah nama yang berada satu kaveling dengannya; namanya mendadak muncul di kepala dan mengalihkan langkah mencari makam beliau. 

Yang terekam dalam memori, tempatnya di sayap kanan taman, dan beliau tidak sendirian di dalam liang kubur. Ternyata, saya harus meminta bantuan Pak Yanto untuk mengecek daftar penghuni taman kehormatan demi memastikan lokasinya karena namanya ketutupan vas bunga. Prof. Dr. A. MOCHTAR. Nama itu pun tampak jelas setelah bunga kering yang menutupinya dipindahkan. Berada di urutan terakhir dari 9 (sembilan) nama lain yang berbagi liang dengannya. 

[caption caption="Penulis membaca di depan pohon yang menjadi saksi bisu pembantaian Jepang terhadap tawanan perang di Ancol"][/caption]

Achmad Mochtar, nama yang mungkin sangat asing bagimu (dan masyarakat Indonesia). Kamu tak sendiri, saya pun baru mendengar namanya 2 (dua) tahun lalu saat bermain di dekat peristirahatannya. Karenanya, saya mencoba mengenali sosok yang difitnah dan terlupakan dari jejak perjalanan sejarah bangsa ini. Nama yang dituding sebagai yang bertanggung jawab atas nyawa ratusan manusia yang meninggal di kamp interniran Klender pertengahan 1944. 

Djepang dateng ambil kita! 
Gerakan ofensif angkatan perang Jepang menghancurkan Pearl Harbour pada 7 Desember 1941 menandai pecahnya Perang Pasifik. Sehari kemudian, Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Jepang. Jepang terus bergerak menunjukkan taringnya, melancarkan serangan di sana sini, menunjukkan kekuatannya di kawasan Asia Tenggara. Gertakannya membuat Belanda merayu Amerika, Australia dan Inggris bersekutu untuk melawan. 

Pada minggu terakhir bulan Februari, pesawat-pesawat Jepang menyerang lapangan-lapangan terbang penting di Jawa, antara lain Andir (sekarang Bandara Udara Internasional Husein Sastranegara), Kalijati (sekarang Landasan Udara Suryadarma) dan Cililitan (sekarang Bandara Udara Halim Perdana Kusuma). Pada 27 Februari 1942, Angkatan Laut Sekutu dibawah pimpinan Laksamana Madya Karel Doorman digempur habis-habisan dalam pertempuran di Laut Jawa. Pagi-pagi tanggal 1 Maret 1942, pasukan Jepang mendarat di pulau Jawa. 9 Maret 1942, Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati. 

Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia, orang – orang Belanda serta keturunan Belanda dan orang-orang Tionghoa yang anti Jepang dijemput dan dibawa sebagai tawanan perang ke kamp-kamp konsentrasi. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga kerja paksa (Romusha). Minimnya sanitasi serta kondisi fisik yang menurun karena terus menerus digenjot tanpa didukung pangan yang layak menyebabkan wabah kolera, tipus dan disentri (TCD) merajalela di kamp. Mereka yang daya tahan tubuhnya tidak kuat, meninggal. Sebagian lagi yang berhasil melewati masa kritis, bertahan hidup, lolos dari maut. 

Antara Juni – Juli 1944, para tawanan di kamp Klender Jakarta tampak sakit. Dari gejala yang terlihat, mereka diindikasi terserang kolera. Jepang pun memutuskan untuk memberikan vaksin TCD kepada para tawanan itu. Vaksin tersebut dibawa dari Lembaga Pasteur, Bandung yang kala itu sudah dikuasai dan dikelolah oleh militer Jepang. Bukannya berangsur pulih, beberapa hari setelah divaksin, ratusan tawanan di kamp Klender meninggal. 

Melihat kejadian ini, Jepang meminta Lembaga Eijkman untuk melakukan penelitian terhadap jaringan tubuh korban. Hasilnya sungguh mengejutkan karena para peneliti menemukan bahwa vaksin TCD yang telah diberikan kepada para tawanan mengandung basil tetanus. Tidak menerima hasil penemuan tersebut, pada Oktober 1944, para peneliti di Lembaga Eijkman berikut tenaga medis yang melakukan vaksinasi ditangkap dengan tuduhan sabotase. Mereka disekap, dipukuli, dibakar, dan disiksa hingga beberapa di antaranya meninggal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline