Ibarat sebuah taman bunga yang luas dengan aneka bunga yang memiliki beragam pesona dan keindahannya, Indonesia memiliki beragam budaya dengan pesona dan keunikan tersendiri yang memperkaya budaya Indonesia. Salah satu kembang dari taman Indonesia adalah budaya Tionghoa yang belum terlalu populer di masyarakat kita. Hal ini dikarenakan pengenalannya terhambat dan berbagai kegiatannya sempat dilarang oleh pemerintah Indonesia di masa orde lama pun orde baru. Pada masa pemerintahan Gus Dur, beliau mengeluarkan kebijakan mencabut Inpres No 14/1967 dengan mengeluarkan Kepres No 19/2001 yang memberikan kebebasan kepada keturunan Tionghoa untuk mengadakan kegiatan budayanya. Salah satu kegiatan pengenalan budaya Tionghoa adalah melalui Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh Komunitas Lintas Budaya Indonesia bekerja sama dengan Kompas Gramedia yang diadakan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) Palmerah pada 6 - 12 Pebruari 2012.
[caption id="attachment_170463" align="aligncenter" width="550" caption="Beragam koleksi yang dipamerkan pada Pameran Budaya dan Karya Seni Peranakan Tionghoa Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 6-12 Peb 2012 (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Tujuan penyelenggaraan pameran seperti yang terangkum dalam buku panduan adalah untuk meningkatkan kohesi dan komunikasi sosial, sehingga masyarakat umum dapat memberikan apresiasi budaya Tionghoa tidak hanya barongsai dan permainan liong. Beragam koleksi benda kuno dipamerkan di tiga ruangan terpisah, di depan pintu masuk ruang pameran utama pengunjung akan disambut oleh kereta dan tandu dari abad 19 yang dipenuhi motif ukiran cina. Kereta yang terbuat dari kayu jati ini dahulu digunakan kaum Tionghoa peranakan di Jawa Tengah dalam upacara tedun (=anak turun tanah). Sedang tandu dipakai sebagai wadah untuk membawa seserahan pada acara pernikahan Jawa; hal ini menunjukkan adanya perpaduan budaya Tionghoa yang diadopsi dari tradisi Jawa. Seperangkat gamelan kuno dari Surakarta, tempat tidur pengantin abad 19, lemari, altar untuk sembayang, tempat membasuh muka, payung sulaman buatan tahun 1956-1957 dan perabotan lainnya mengisi ruang pameran. Di ruangan lainnya berbagai macam perabotan rumah tangga yang terbuat dari keramik seperti kendi/tempayan untuk anggur yang ditemukan di Sumatera maupun Kalimantan, pakaian pengantin dan beberapa koleksi pernak-pernik yang ditata dalam ruangan kaca. Barang lainnya yang ikut dipamerkan adalah beragam perhiasan dari perak maupun emas, serta batik peranakan berusia ratusan tahun yang diproduksi di daerah pesisir Jawa seperti Lasem maupun Cirebon.
Pengunjung yang tertarik dengan dengan cerita silat, dapat berbincang-bincang dengan kolektor buku-buku kuno yang menggelar koleksi bukunya di selasar BBJ. Buku "Chinese Indonesia Peranakan" A Cultural Journey yang diluncurkan pada pembukaan pameran dapat melengkapi koleksi pustaka untuk menambah pengetahuan budaya Tionghoa peranakan dari berbagai daerah Indonesia. Buku yang dicetak berwarna ini dijual dengan harga Rp 450,000/buku.
Apa Itu Tionghoa Peranakan?
Tak adanya perempuan Tionghoa totok untuk dinikahi membuat orang Tionghoa mengambil perempuan pribumi sebagai istri. Di Indonesia, setelah peristiwa penumpasan orang Tionghoa di Batavia tahun 1740; orang Tionghoa mempunyai kecenderungan untuk melebur ke dalam masyarakat pribumi. Keturunan yang lahir dari perpaduan Tionghoa totok dan pribumi inilah yang kemudian disebut sebagai Tionghoa peranakan Indonesia.
Onghokham dalam bukunya Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa menyebutkan yang dimaksud sebagai kaum Tionghoa peranakan adalah mereka yang secara kebudayaan mempunyai budaya akulturasi antara budaya Tionghoa, lokal (Melayu, Sunda atau Jawa) dan Eropa (terutama Belanda). Dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa melainkan berbahasa Melayu/Indonesia dan/atau bahasa daerah Indonesia lainnya sebagai bahasa ibu. Bahkan di masa lalu banyak warga Tionghoa peranakan yang fasih berbahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari.
Wayang Potehi dan Chio Tau
Kegiatan lain yang ikut meramaikan rangkaian perayaan tahun baru imlek kemarin adalah pementasan wayang khas Tiongkok selatan yang disebut wayang potehi. Potehi dari asal kata Po Tay Hie (Po = kain, Tay = kantong, Hie = wayang), yang dalam lafal Indonesia menjadi potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Boneka-boneka kain ini dimainkan oleh seorang dalang dengan memasukkan tangan ke dalam kantong kain kemudian digerakkan mengikuti cerita dari balik layar panggung kecil berukuran kira-kira 1x1m2. Jika kita perhatikan saat ini para penggiat wayang potehi sebagian besar adalah orang-orang pribumi. Lakon yang dipentaskan biasanya kisah para pendekar dari dinasti Tiongkok dan mengedepankan nilai-nilai ajaran tentang kebaikan. Untuk menambah semarak pertunjukan diiringi dengan musik tetabuhan yang dimainkan oleh tiga orang pemusik. Karena sempat dilarang pentas, wayang potehi masih kurang dikenal oleh masyarakat kita. Meski sudah dibawakan dengan pengantar bahasa Indonesia, ternyata penikmat pertunjukannya pun masih terbatas di kalangan tertentu.
[caption id="attachment_170901" align="aligncenter" width="500" caption="Pengunjung menimati pementasan wayang potehi di Citraland, Jakarta (dok. koleksi pribadi)"]
[/caption] Kegiatan lain yang sudah sangat langka dan berupaya untuk dilestarikan adalah prosesi pernikahan tradisional Tionghoa peranakan Chio Tau. Chio Tau lahir dari perpaduan antara budaya Tionghoa dan Betawi yang tampak dari pernak-pernik yang dikenakan oleh pengantin. Kegiatan ini digelar sebagai bentuk kegiatan CSR Mal Ciputra dalam mengisi perayaan tahunbaru imlek yang dilaksanakan Minggu (5/2/2012) lalu, menarik minat pengunjung pusat perbelanjaan di Jakarta Barat tersebut. Beragam rangkaian prosesi yang terdiri dari 13 tahapan harus dilalui oleh pasangan yang dinikahkan pada hari itu agar resmi menjadi pasangan pengantin Tionghoa. Prosesi tersebut diantaranya penghormatan kepada Pencipta di meja Sam Kai, penyisiran rambut yang dilakukan oleh saudara termuda dari pengantin sambil berteriak "panjang jodoh, panjang umur, panjang rejeki", pemberian uang pelita dari orang tua atau yang mewakili, pemakaian baju pengantin, pay ciu memberikan minum arak kepada pengantin, makan 12 jenis makanan yang disajikan dalam mangkok sebagai simbol makanan sepanjang tahun, makan nasi melek yaitu simbol suapan terakhir dari ibu kepada anaknya, pemasangan oto yaitu kantong kain yang diikat di perut berisi ang pao, buku tong shu dan kue sebagai simbol orang tua membekali anak perempuannya dengan pengetahuan dan penganan serta pemasangan kerudung hijau. Lalu ada prosesi sawer, sembayang kawin di meja pemujaan, soja pengantin, suap-suapan pengantin dan terakhir teh pay. [caption id="attachment_170472" align="aligncenter" width="550" caption="Pengantin wanita dalam pernikahan Chio Tau (dok. koleksi pribadi)"]
[/caption] Dari beragam kegiatan di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Tionghoa memberikan akulturasi yang unik dalam memperkaya budaya Indonesia. Satu harapan semoga ke depannya masyarakat Indonesia pun akan lebih memahami, mencintai dan menghargai warisan budaya Tionghoa sebagai budaya negeri sendiri yang turut memperindah taman budaya Indonesia.[oli3ve]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H