ditulis oleh Olive Bendon [Peserta 56] Krecek ...krecek ...dung-dung crek ...dung-dung crekk!! Haiyaaaaa, owe telat posting ;) Suara tetabuhan memanggil penonton untuk segera berkumpul di depan sebuah kotak yang didominasi warna merah. Ketika waktunya untuk bermain, dalang pun mulai menampilkan Lakon Pendekar Cilik Pui Sio Giok menghibur penonton yang memenuhi sederet bangku di depan pangung mini. Tak banyak yang mengenal Poo Tay Hie atau dalam bahasa Indonesia diluruskan menjadi "potehi". Hal ini bisa dimaklumi karena pada masa orde lama dan orde baru, kesenian rakyat yang berasal dari Tiongkok ini sempat dilarang. Wayang potehi kembali mentas pada masa pemerintahan Gus Dur, yang membuat beberapa pengelola pusat perbelanjaan ikut mementaskan wayang potehi dalam rangkaian kegiatan menyambut Tahun Baru Cina. [caption id="attachment_165099" align="aligncenter" width="300" caption="pertunjukan wayang potehi (dok. koleksi pribadi)"][/caption] Tahun 2010, pertama kali saya menyaksikan langsung pementasan wayang potehi secara tidak sengaja di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Terlambat? Tak apa, lebih baik telat daripada kawan saya yang tak terbayang bagaimana wayang potehi itu. Masih lebih bersyukur lagi karena ternyata banyak yang belum pernah melihat pertunjukannya. Sama halnya dengan wayang kulit atau wayang golek yang dimainkan oleh seorang dalang, dalam pementasan wayang potehi seorang dalang bertugas membawakan lakon dengan memainkan boneka-boneka berkostum china dari balik tirai. Sang dalang dibantu oleh seorang asisten yang bertugas untuk mengatur urutan boneka yang akan tampil. Tak ketinggalan tiga pemain musik duduk di belakang memainkan krecek, suling, gendang dan gong sebagai pelengkap pertunjukan. [caption id="attachment_165096" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Sesomo in action (dok. koleksi pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_165098" align="aligncenter" width="300" caption="Tim musik pertunjukan wayang potehi (dok. koleksi pribadi)"]
[/caption] Saat istirahat, saya diijinkan untuk melihat bagian belakang "panggung" dan berkenalan dengan pak Sesomo sang dalang yang ternyata bukanlah orang Cina, demikian juga dengan keempat anggota timnya. Dari obroan singkat di balik layar, saya baru tahu bahwa sebagian besar orang yang menekuni, mempertahankan dan memperkenalkan warisan budaya ini adalah warga pribumi seperti pak Sesomo dkk. Jadi kenapa dulu dilarang-larang ya? [oli3ve]
*********
Untuk membaca karya lainnya silahkan mampir ke Cinta Fiksi
Gong Xi Fat Choi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H