Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Tangguh Si Gembolan

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1378104010482228151

“Kalian gila!” kata dr Sadina, dokter kandungan saya di Jakarta.

Hari terakhir periksa itu kandungan saya sudah sekitar 8,5 bulan. Dokter Sadina bertanya, saya mau melahirkan di mana, dan kami jawab di Yogya. “Terus pulang ke Yogya naik apa? Naik pesawat kan udah nggak bisa,” tanya dokter kami yang baik hati itu. Selain usia kandungannya sudah tua, kebetulan hamilnya juga besar sekali, jadi tidak mungkin kalau harus pura-pura hamil sebelum 7 bulan – usia kandungan maksimal sesuai peraturan maskapai.

“Terus, mau ke Yogya kapan?”

“Dua minggu lagi,” kata Puput, suami saya.

Wong edan. Buruan aja pulangnya. Nanti kalau mbrojol di jalan, piye?”

Awalnya saya dan Puput berpikir untuk naik kereta api. Nyaman, murah, dan paling lama hanya 10 jam sampai di Stasiun Tugu, Yogya. Setelah dipikir-pikir lagi, kalau naik kereta api, terus tiba-tiba mau melahirkan repot juga. Masa mau melahirkan di kereta, dibantu kondektur?

Mau naik bus jelas lebih tidak mungkin lagi. Lebih tidak aman, berguncang-guncang, dengan waktu tempuh perjalanan yang tidak pasti. Naik travel apalagi, mobil kecil penuh sesak tentu tidak nyaman untuk ibu hamil tua.

Kenapa memaksa harus melahirkan di Yogya? Kalau kata Puput, wajib hukumnya, kebetulan ayahnya dokter kandungan juga, jadi rencananya saya akan melahirkan di rumah. Padahal sejak hamil saya sudah sering bilang tidak mau kalau melahirkannya sama bapak mertua. “Malu,” Kata saya. Apa daya, alasan “malu” kalah kuat “ngirit”, “banyak yang bantu momong”, “biar mbah-mbahnya senang” dan sebagainya.

Naik mobil sendiri adalah satu-satunya jalan. “Kalau tiba-tiba merasa mau melahirkan, tinggal belok ke rumah sakit atau rumah bidan,” pikir kami. Perut yang sudah sangat buncit itu kami namani “Gembolan” sejak awal kehamilan.

[caption id="attachment_263042" align="aligncenter" width="396" caption="Bagasi mobil selalu penuh sesak saat road trip"][/caption]

Beberapa hari setelah kunjungan ke dr Sadina (kandungan sudah memasuki 9 bulan), kami pun bersiap melakukan road trip ini. Kebetulan, sebelumnya sudah sering melakukan perjalanan luar kota untuk berwisata menggunakan mobil sendiri. Standard Operating Procedure (SOP) sudah hapal, walau kali ini agak lebih diperketat.

Mobil Honda berplat AB diservis lebih dahulu, oli, aki, ban, dan entah apalagi dicek ulang sebelum keberangkatan. Carjack diisi batere. Ban serep dipastikan masih bagus.

Daster-daster hamil dikemasi. Susu dan kopi adalah perbekalan wajib untuk perjalanan darat. Selain itu, tentu saja makanan ringan kesukaan saya dan Puput seperti wafer, biskuit, dan keripik kentang. “Tapi nanti tetap beli tahu Sumedang, lho!” pesan saya sebelum masuk mobil. Harap maklum, ibu hamil makannya memang kalap.

Awal perjalanan ditempung dengan sangat lancar. Kami berangkat selepas Subuh dari rumah kami di bilangan Kuningan. Jalanan masih sepi, begitu juga dengan jalan tol. Tidak ada hambatan apapun hingga tiba di ujung tol Cikampek.

Begitu keluar tol langsung berhenti total. Angkot, sepeda motor, mobil, bus semuanya tumplek blek jadi satu. Aktivitas pasar di kanan kiri jalan menambah padatnya lalu lintas. Ternyata, oh ternyata, jalanan sedang dialihkan karena ada karnaval anak-anak TK. Becak, mobil pick-up yang dihiasi kertas warna ditunggangi bocah-bocah kecil ini mengelilingi Cikampek. Butuh waktu satu jam untuk lepas dari kemacetan ini.

Langsung disambut kemacetan berikutnya di Pamanukan. Kali ini masalahnya klasik, pasar tumpah dan perbaikan jalan. Jalur Pantura tampaknya memang tidak pernah usai memperbaiki jalan, selalu ada sepotong, dua potong, berpotong-potong badan jalan yang sedang diperbaiki. Jalur dialihkan menjadi satu arah, jalan dipenuhi kendaraan-kendaraan berat mengakibatkan laju mobil hanya sekitar 10-20 km/jam. Kadang berhenti total selama beberapa menit. Kondisi mobil yang melewati jalur ini memang harus prima supaya sanggup mengatasi beratnya medan. Shell V-Power direkomendasikan untuk medan yang berat serta perjalanan yang jauh.

Perjalanan baru kembali lancar ketika memasuki tol Palikanci di Cirebon. Waktu sudah menjelang sore. Untuk perjalanan Jakarta-Yogya dengan mobil, kami memang selalu meluangkan waktu dua hari. Biasanya kami bermalam di hotel, entah di kota mana kami tiba. Pernah menginap di Tegal, Cirebon, Banyumas, kali ini sampai di Pekalongan.

Perjalanan dua hari membuat kami lebih santai, tidak terburu-buru tiba di tujuan. Alon-alon waton kelakon, kata orang Jawa. Apalagi sedang hamil besar seperti itu, punggung, pinggang pegal semua. Perjalanan jauh dalam mobil ber-AC pun punya kecenderungan membuat ibu hamil lebih mudah terkena sakit kepala.

Waktu sudah lewat Maghrib, waktunya mencari hotel. Di Pekalongan, setelah melewati sentra batik di kanan-kiri jalan, kami menemukan sebuah hotel yang tampaknya lumayan. Bukan hotel esek-esek, yang penting. Tarifnya pun hanya sekitar Rp 250 ribu per malam. Usai menikmati makan malam di kakilima, kami pun tertidur lelap.

Esoknya, usai sarapan, perjalanan Si Gembolan kembali dilanjutkan. Kali ini kami memutukan untuk menembus pegunungan menuju ke selatan. Puput termasuk salah seorang pecinta pegunungan. Selain suka naik gunung, ia juga menikmati menyetir di daerah pegunungan. “Walaupun jalannya naik turun dan belak-belok, tapi nggak capek, soalnya suasananya ijo,” katanya. Kami pun menembus kota Batang dengan pemandangan yang indah. Sayangnya hanya satu stasiun radio yang mampu menembus pegunungan. Acaranya pun tidak jelas. Saya mau menyanyi, takutnya bayi saya malah ketakutan. Akhirnya ngobrol-ngobrol yang lucu-lucu saja sambil menikmati pemandangan.

Saya merapatkan paha, takutnya bayinya keluar – padahal sebenarnya belum terasa sama sekali. Terbayang saja kalau mau melahirkan di sini kan repot, pegunungan dan jurang, jarang terlihat plang bidan, apalagi dokter kandungan. “Ah, Puskesmas pasti ada,” pikir saya penuh percaya diri.

Ternyata tidak ada masalah sama sekali hingga kami tiba di Yogya siang itu. Bapak Mertua menyambut saya dengan sebutir durian. “Dihabiskan juga boleh,” katanya santai.

Beberapa hari di Yogya, saya tak kunjung merasakan mulas-mulas, yang katanya merupakan pertanda orang mau melahirkan. Saya dan Puput setiap hari sudah jalan-jalan keliling kompleks, jalan pagi ke sawah, tetap mulas-mulas tak kunjung datang.

[caption id="attachment_263043" align="aligncenter" width="462" caption="Si Gembolan di Pantai Siung, Gunungkidul"]

1378104092868259189

[/caption]

Dua hari sebelum hari perkiraan lahir (HPL) kami pergi ke pantai-pantai di Gunungkidul. Pantai Siung dan Wediombo saat itu sedang naik daun. Saya dipaksa Puput menuruni tangga menuju ke bibir Pantai Wediombo, supaya lebih gampang melahirkannya. Ternyata masih gagal juga.

[caption id="attachment_263044" align="alignleft" width="300" caption="Oliq, Si Petualang Tangguh"]

1378104159455673702

[/caption]

Beberapa hari sudah melewati HPL tanpa ada tanda-tanda mau melahirkan, bapak mertua akhirnya memutuskan untuk melakukan operasi cesar. Oliq lahir menjelang Maghrib. Anak yang sehat dengan pipi nyempluk. Anak yang kami harapkan menjadi petualang tangguh di masa depannya.

Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline