Lihat ke Halaman Asli

Ditangkap Polisi di Taj Mahal

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13774417741763655500

Bila ditanya pengalaman yang paling berkesan saat melancong sejauh ini, jawaban saya pastilah ketika bepergian ke India dua tahun yang lalu. Bagaimana tidak, selain menikmati peninggalan sejarah yang luar biasa, berbagai kejadian unik dan tidak terlupakan saya alami. Mulai dari dikejar-kejar supir bajaj, ditangkap polisi, hingga terpaksa semalaman menginap di Stasiun Agra Cant – dan saat itu adalah puncak musim dingin. Ditambah lagi, petualangan tersebut kebetulan terjadi ketika saya mengandung empat bulan.

[caption id="attachment_261502" align="alignnone" width="542" caption="Taj Mahal, tujuan utama wisatawan ke India"][/caption]

Perjalanan ini sudah saya rencanakan berbulan-bulan sebelumnya. Kebetulan saya dan suami gemar berburu tiket promo pesawat, sehingga ketika ada kesempatan untuk mendapatkan tiket murah ke tujuan yang belum pernah kami datangi, langsung dieksekusi. Saat pembelian tiket, saya belum hamil.

Ketika tiba saat hendak berangkat, banyak kawan yang menyarankan untuk menunda perjalanan. Memang, India terkenal sebagai salah satu negara yang “keras” untuk wisatawan asing. Kota-kota di India juga tidak terkenal akan kebersihannya – sesuatu yang sangat penting bagi seorang ibu hamil.

Bukan karena kami tidak peduli akan si jabang bayi, namun selama empat bulan pertama kehamilan tidak pernah ada masalah. Bisa dibilang, kondisi saya hampir seperti orang yang tidak hamil. Bahkan selama kurun waktu tersebut pun kami sering jalan-jalan dan backpacking ke beberapa kota di Indonesia tanpa ada masalah.

Ketika visa sudah tertempel dengan manis di paspor, saatnya kami berkemas. Perlengkapan kali ini tidak seperti biasanya yang hanya mengandalkan celana jins dan kaus. Perjalanan ke India ini tepat saat puncak musim dingin sehingga kami pun harus membawa jaket musim dingin dan penutup kepala. Bodohnya, kami berdua tidak membawa sepatu, dan tetap menggunakan sandal gunung.

Singkat cerita, kami tiba di New Delhi. Bandara Internasional Indira Gandhi terlihat gemerlap, bersih, nyaman, dan tertata rapi. Kondisi bandara jauh berbeda dengan kenyataan di luar. Di tengah musim dingin seperti itu masih banyak tunawisma yang tidur di emperan toko. Banyak yang harus menyalakan api unggun untuk melawan ganasnya hawa dingin.

Untungnya, hotel yang kami tempati sangat nyaman dan bersih, walaupun letaknya berada di tengah Pahar Ganj, kawasan backpacker dengan lingkungan yang sangat kumuh.

Tujuan utama wisatawan datang ke India adalah untuk pergi ke Taj Mahal yang berada di kota Agra. Kami pun demikian. Saya sudah memesan tiket kereta api untuk menuju ke Agra. Shatabdi Express adalah kereta pilihan utama turis, menurut jadwal hanya butuh waktu dua jam untuk tiba di kota Agra.

Karena kereta berangkat pukul 06.00 pagi, saya dan Puput – suami saya – keluar dari hotel kami selepas Subuh, berjalan kaki menembus dingin menuju ke Stasiun Old Delhi. Di stasiun kereta terlihat banyak calon penumpang yang tidur di peron, ruang tunggu, bisa dibilang di sembarang tempat. Mereka menggunakan selimut tebal dan bahkan terpal untuk menutup tubuh.

[caption id="attachment_261504" align="alignleft" width="300" caption="Berpose dengan kereta sebelum berangkat"]

13774418681366924851

[/caption]

Kereta berangkat tepat waktu. Kami cukup terkesima karena di gerbong Kelas 1 ini pelayanannya cukup maksimal. Tidak hanya kami diberikan pilihan makanan untuk sarapan, juga diberikan makanan ringan. Yang paling unik, bahkan kondektur memberikan setangkai bunga pada masing-masing penumpang. Awal yang baik belum tentu berakhir baik pula.

Semakin lama kereta semakin sering berhenti. Dua jam, tiga jam, enam jam. Dan kami baru tiba di Stasiun Agra Cant setelah tujuh jam perjalanan. Ternyata semua kereta di India saat itu mengalami keterlambatan yang parah karena adanya kabut tebal di mana-mana.

Bergegas Puput dan saya keluar dari stasiun. Saat itu sudah pukul 13.00, dan kami tidak merencanakan untuk menginap di Agra. Dengan demikian, waktu untuk mengunjungi Taj Mahal sangat sempit karena kami harus kembali ke Delhi dengan kereta pukul 20.00.

Mungkin Agra bagaikan dunia yang mengerikan bagi turis asing. Begitu keluar, ratusan orang mendekati, melambaikan tangan, berteriak-teriak menawarkan taksi, bajaj, entah apa lagi. Tidak ada sopan santun. Semuanya saling mendesak. Saya dan Puput harus bergandengan tangan erat-erat supaya tidak terpisah. Setelah lolos dari kepungan pun kami masih harus menghindari seorang calo yang tidak patah semangat menawarkan bajaj. Kami harus berjalan zig-zag untuk menghindarinya.

Ketika akhirnya bertemu dengan seorang supir bajaj, kami tawar menawar harga. Tarif bajaj di India termasuk sangat murah, jauh lebih murah daripada di pusat kota Jakarta.

Di Taj Mahal, kesialan tidak berakhir begitu saja,. Setelah membeli tiket khusus wisatawan asing, saya dan Puput harus antre terpisah – antrian dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Puput membawa ransel berisi kamera dan perlengkapannya, saya membawa ransel berisi minuman dan buku panduan wisata. Terburu-buru kami mengantre, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 14.00. Antrean laki-laki sangat cepat, sementara perempuan sangat lambat. Ini karena biasanya perempuan membawa tas tangan yang perlu digeledah petugas.

Hampir satu jam mengantre tiba giliran saya diperiksa. Ternyata ransel saya dinyatakan terlalu besar untuk dibawa masuk. Buku panduan wisata pun dilarang dibawa masuk. Petugas mengusir saya begitu saja. Hampir menangis saya mencari penitipan tas yang ternyata jaraknya lumayan jauh. Untungnya sebelum berpisah, Puput sempat memberikan beberapa Rupee untuk saya. Ransel dititipkan, saya kembali ke antrean yang sudah semakin mengular. Antre di ujung belakang.

Hampir satu jam saya mengantre untuk ke dua kalinya, dan tiba giliran diperiksa. Ternyata tiket saya sudah disobek petugas saat antre pertama kali. Sambil deg-degan saya memegang tiket di bagian yang sudah tersobek, seolah-olah tiket tersebut masih utuh. Untungnya petugas tidak menyadarinya dan meloloskan saya begitu saja. Tiba di bagian dalam, Puput sudah menunggu saya dengan wajah yang sangat khawatir.

[caption id="attachment_261506" align="alignnone" width="584" caption="Gerbang masuk ke dua sebelum halaman utama"]

1377442048627291870

[/caption]

Tergesa-gesa kami mengambil foto sana-sini,berharap waktu cukup untuk mengambil gambar sebelum matahari tenggelam. Kami masuk menuju gerbang dan langsung terpukau dengan bangunan putih yang begitu megah. Saat itu banyak sekali wisatawan lokal yang berkunjung.

Tidak lama kemudian, Puput mengeluarkan tripod – barang yang selalu kami gunakan ketika bepergian sekadar mengambil foto berdua. Suami saya adalah jenis orang yang tidak puas bila hanya minta tolong dipotretkan oleh sembarang orang. Ketika ia menata tripodnya, saya menyadari bahwa tidak ada wisatawan lain yang menggunakan tripod. “Ah, mungkin orang lokal memang tidak biasa menggunakannya,” pikir saya.

Baru satu dua jepretan, kami didatangi oleh seorang petugas polisi. Ia mengatakan bahwa dilarang membawa masuk tripod. Puput langsung membantah, tasnya sudah digeledah oleh petugas, kalau dilarang kenapa dibiarkan saja? Petugas polisi ini bersikeras membawa kami ke kantor polisi. Karena takut kehabisan waktu, saya dan Puput terus mengambil foto. “Come, come, hurry!” kata si petugas polisi berusaha menggiring kami. Muka Pak Polisi ini agak lucu seperti pelawak, jadi kami beranikan terus saling memotret walau harus sambil berjalan menuju kantor polisi.

Di dalam kantor polisi, kami dikelilingi beberapa petugas polisi. Komandannya bernama Prasath, berpangkat sersan. Sersan Prasath ini menanyakan mengapa kami membawa masuk tripod. Puput berkilah kami tidak tahu bahwa tripod merupakan benda yang dilarang masuk, lagipula tasnya sudah digeledah petugas.

Ketika Sersan Prasath bilang ia harus menyita tripod kami, Puput langsung bilang dalam Bahasa Inggris, “Ambil saja, yang penting kami segera dilepaskan karena kami baru saja datang dan belum ambil foto-foto banyak.” Toh tripod harganya paling hanya Rp 200.000 saja.

Ternyata belum selesai juga. Sersan Prasath ingin Puput mengidentifikasi petugas yang memeriksan tasnya dan meloloskan tripod itu masuk. Puput bilang tidak ingat, wajahnya saja hampir sama semua. Dalam hati saya, “Kalaupun yang memeriksa Shah Rukh Khan, saya tetap ragu Puput bisa ingat wajahnya.”

Beberapa puluh menit tarik ulur, akhirnya Sersan Prasath melepaskan kami. Ia bilang kami dapat mengambil tripod di kantor saat hendak pulang.

[caption id="attachment_261505" align="alignnone" width="545" caption="Kamera terpaksa diletakkan di atas pagar demi berfoto berdua"]

13774419521527275575

[/caption]

Bersyukur, kami buru-buru kembali ke bangunan utama Taj Mahal. Foto-foto berdua sangat minim karena ketiadaan tripod kesayangan. Kami mengandalkan tas, bangku, pagar, sebagai pengganti penopang kamera. Pengatur waktu (timer) dan pengendali jarak jauh (remote control) digunakan secara maksimal.

Sebenarnya hati ini belum puas, namun pengeras suara mengabarkan bahwa Taj Mahal sudah hampir tutup. Wisatawan diperintahkan untuk segera keluar melalui beberapa pintu gerbang. Tripod kami ambil tanpa kesulitan. Kami keluar mencari makan, sejak pagi belum makan karena biskuit yang kami bawa pun sudah disita petugas pintu gerbang. Ibu hamil lapar berat!

[caption id="attachment_261508" align="alignnone" width="511" caption="Matahari tenggelam di balik Masjid Taj Mahal"]

13774421951409283995

[/caption]

Kesialan nampaknya sangat akrab dengan kami hari itu. Tiba di Stasiun Agra Cant pemandangan yang sama terlihat seperti di Stasiun Delhi. Penumpang menumpuk, kebanyakan duduk-duduk atau tidur di lantai. Udara sangat dingin mendekati titik beku. Saya dan Puput menuju ke ruang tunggu penumpang Kelas 1. Di sana juga penumpang menumpuk, hanya ada satu kursi tersisa. Saya duduk di kursi sementara Puput duduk di lantai di hadapan saya entah beralaskan apa. Kaki kami yang hanya dialasi sandal gunung bagaikan beku.

[caption id="attachment_261507" align="alignnone" width="511" caption="Tumpukan calon penumpang di ruang tunggu Stasiun Agra Cant"]

1377442109411157596

[/caption]

Pukul 21.00 kereta belum juga datang. Pengumuman keterlambatan kereta terus menerus didengungkan. Kereta jarak jauh menuju India bagian selatan bahkan hingga terlambat lebih dari 20 jam. Lewat tengah malam kereta kami belum juga muncul. Penumpang makin menumpuk. Banyak yang tidur di lantai sehingga berjalan pun sulit. Walaupun ruangan tertutup, hawa dinginnya tak tertahankan, tetap menusuk ke tulang.

Salah satu permasalahan terbesar adalah toilet. Saya sempat satu kali ke toilet dan tidak akan dapat menggambarkan bagaimana joroknya dengan kata-kata. Sekembalinya Puput dari toilet, ia langsung berkata, “Nanti kalau kebelet lagi, aku mending pipis di peron!”

Para wisatawan asing yang berada di ruang tersebut seperti membentuk ikatan untuk saling memberi informasi kapan kereta kami akan tiba – walaupun informasinya kebanyakan tidak akurat. Lepas tengah malam, penjaga ruang tunggu ikut masuk karena kedinginan. Ia membawa satu tambahan kursi. Akhirnya Puput dan saya bisa duduk bersebelahan, tidak perlu bergantian duduk di lantai walaupun kursi besi ini juga sangat dingin. Pak Penjaga Ruang Tunggu berselimut kain yang seperti karung goni. Ia tampaknya kasihan melihat saya, dan menyelimuti pangkuan saya dengan selimut goninya tersebut.

Sekitar pukul 06.00 keesokan harinya, Bapak Penjaga berteriak, “Shatabdi, Shatabdi.” Kami langsung beranjak. Kereta kami! Suara klakson kereta bagaikan nyanyian merdu di telinga kami. Kami pun menyempatkan diri untuk berfoto bersama dengan beberapa wisatawan asing lainnya.

[caption id="attachment_261509" align="alignnone" width="511" caption="Wajah-wajah sumringah pasca penantian panjang"]

1377442275614465860

[/caption]

Tak hentinya bersyukur ketika sudah berada dalam kereta yang hangat. Tidak perlu takut untuk minum lagi karena toilet di kereta cukup layak. Tak perlu berkali-kali menggosok kaki yang membiru kedinginan. Saya mengelus perut, bersyukur si bayi tidak rewel.

Kami kembali menempuh tujuh jam perjalanan menuju ke Delhi. Tak apa-apa yang penting penantian telah usai. Tiba di hotel kami di Pahar Ganj, bagaikan tiba di rumah sendiri. Home sweet home.

India, sebuah pengalaman yang berkesan dan tak terlupakan. Pahit ketika dialami, namun manis ketika dikenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline