[caption id="attachment_253295" align="alignleft" width="620" caption="Papan pemberitahuan tentang habisnya persediaan solar bersubsidi dipasang di sebuah SPBU di Jalan Raya Solo-Yogyakarta, Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/4/2013). Photo, Kompas.com"][/caption] Maafkan sarkasme ini. Tapi kabar rencana pemerintah membatasi penjualan bensin dan solar bersubsidi, nampaknya kian berpeluang jadi subjek pembahasan hangat di kalangan tertentu untuk meninjau kembali UU Migas, terutama pasal yang memberi kekuasaan berlebih pada gergasi asing terutama British Petroleum (BP), Chevron Pacific Indonesia (Amerika Serikat), Total EP Indonesie (Perancis), dan ConocoPhillips, kalau masih ada nyali!. Sejak orang-orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempromosikan rencana pembatasan BBM satu semester yang lewat, ruang-ruang pemberitaan media sesak dengan argumen pendukung dari menteri ini itu. Pemilik mobil pribadi adalah kalangan mampu yang tak sepantasnya menikmati subsidi, kata seorang menteri di bulan-bulan yang lewat, seolah yang dia tuju adalah sapi perah negara yang tak pantas menerima subsidi meski tiap saat mereka membayar pajak ini itu. Berganti bulan, ruang pemberitaan banjir kabar tarik ulur rencana penerapan kebijakan. Menteri-menteri awalnya bilang pemberlakuannya per 1 Januari 2011 dan subjeknya adalah mobil pribadi produksi tahun 2005 ke atas. Belakangan, menteri-menteri yang sama bilang rencana ditunda beberapa bulan dan subjeknya adalah seluruh mobil pribadi dan belakangan sepeda motor. Merdeka.com bilang, terhitung mulai Juli 2013 nanti, pemerintah akan membatasi pembelian BBM untuk mobil dan sepeda motor. Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo Jumat, 10/05/13, kemarin bilang. "Berdasarkan kebutuhan, sepeda motor 0,7 liter per hari, mobil pribadi 3 liter per hari. Kalau satu kendaraan satu hari hari sudah beli 100 liter itu jelas tidak benar,". Yang jadi pertanyaan besar adalah jika pemerintah masih perlu berpikir panjang, kenapa pula mereka memilih menggebah ujung-ujung syaraf publik dengan mengumumkan rencana itu sejak tahun lalu? Sebaliknya, jika pemerintah menganggap pembatasan itu sesuatu yang mulia, demi "keadilan" penyaluran subsidi ke rakyat yang miskin, seperti yang sering mereka dengung-dengungkan, kenapa pula mengulur-ngulur waktu pelaksanaannya? Masih dari merdeka.com, pada hari yang sama, Kementerian Keuangan menyatakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi harus dilakukan secara langsung ketimbang bertahap. Pasalnya, apabila dilakukan bertahap maka hanya akan berdampak kecil terhadap penjagaan defisit anggaran. Menurut Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro, pemerintah sudah terlambat jika ingin menerapkan kebijakan kenaikan BBM secara bertahap. Idealnya langkah tersebut dilakukan pada awal tahun. "Kalau bertahap lebih terasa kalau dalam setahun itu tahapannya selesai. Kalau tahapannya mulai dari tengah tahun kan terlalu kecil dampaknya terhadap (penjagaan) defisit,". Bambang memang patut cemas. Kalangan usaha misalnya, sudah bilang dari jauh-jauh hari kalau pembatasan bensin bakal memicu kenaikan ongkos-ongkos dan memperlambat langkah produksi. Tapi, lagi-lagi, bukankah mengumumkan sebuah rencana kebijakan yang berdampak luas tanpa mengetahui lekuk dan kedalamannya adalah sebuah distorsi tersendiri? Dan nampaknya, pemerintah sebentar-sebentar melucut syaraf warganya sendiri dengan mengumbar rencana demi rencana besar, tanpa kepastian untuk waktu yang lama. Menurut Kompas.com, konsumsi bahan bakar minyak yang meningkat setiap tahun penyebab krisis pasokan BBM dan karena itu perlu pembatasan. Menukil data PT Pertamina (Persero) Kompas mengatakan, rata-rata pertumbuhan konsumsi Premium sekitar 10,8 persen, sementara pertumbuhan konsumsi solar 7,3 persen. Makanya kuota BBM subsidi selalu jebol, kata Kompas, pada Rabu, 8 Mei 2013. "Tahun 2013, kuota BBM subsidi dalam APBN ditetapkan 46,01 juta kiloliter (kl). Realisasinya diperkirakan menjadi 49,18 juta kl. Total konsumsi Premium bakal 7,8 persen dari kuota 29,20 juta kl, sementara konsumsi solar akan 16,9 persen dari kuota 15,11 juta kl. Konsumsi ini sudah harus dikendalikan, tak peduli ada kenaikan harga BBM bersubsidi atau tidak." Masih menurut Kompas, pengendalian konsumsi BBM ini dikaitkan minimnya pasokan minyak mentah untuk dikelola menjadi produk BBM. Juga menyangkut ketersediaan kilang minyak di dalam negeri yang masih terbatas. Akibatnya, sebagian besar dari minyak mentah dan produk BBM harus diimpor. Sayang Kompas tidak merinci penyebab keterbatasan-keterbatasan itu. Sebab, medio November 2012 tahun lalu, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kalang kabut ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan membubarkan Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas), tepatnya 13 November tahun itu yang bisa jadi ada "benang merah" dengan batasan pasokan BBM. Ada pilihan lain yang sedikit konyol sebenarnya bagi negara saat ini, sesuatu yang bisa kontan menurunkan harga BBM dalam negeri tanpa takut adanya keterbatasan: meminta Istana "memaksa" perusahaan batu bara, gas dan minyak menjual murah hasil tambang mereka ke negara. Tapi hei, ini Indonesia bung. Swasta yang sedikit dan milik segelintir orang-orang superkaya Indonesia itu telah lama "menyandera" kas pemerintah via royalti dan pajak tambang. Duh! []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H