Dalam sebuah laporan Detik.com dan koran ternama berbahasa Inggris di Jakarta menggunakan hasil “riset” Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) dalam pemberitaan seputar apa yang mereka sebut sebagai fenomena meningkatnya “konflik agama” di Indonesia.
PPIM adalah lembaga studi dan riset keagamaan tingkat lanjut di Institut Agama Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Mereka sering meriset naskah kuno, bikin jurnal, seminar ini itu. Tapi yang jadi pembicaraan adalah organisasi ini seperti tak pernah bosan bikin survei. Dan objeknya sepertinya melulu umat Islam dan Islam.
Saya belum menemukan keterangan spesifik soal pendanaan lembaga ini di situs mereka. Kecuali sedikit info seputar mitra kerja mereka yang banyak: Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kedutaan Besar Inggris, British Council, Kementrian Agama Republik Indonesia, TAF (The Asia Foundation), TFF (The Ford Foundation) dan masih banyak lagi.
Survei adalah kegiatan ilmiah dan didukung banyak pihak. Yang jadi soal adalah karena survei PPIM seperti selalu ingin menyalakan alarm kecemasan orang banyak.
Di tahun 2008, misalnya, organisasi ini pernah bikin survei atas 500 guru di sekolah negeri dan swasta di Jawa. Kata sebuah paper di Singapura, lembaga ini mendapati kalau kebanyakan responden mereka “menolak pluralisme, cenderung pada radikalisme dan konservatisme”. Most Islamic studies teachers in public and private schools in Java oppose pluralism, tending toward radicalism and conservatism, according to a survey released in Jakarta on Tuesday. Kata The Jakarta Post.
Detilnya: mayoritas responden menolak kehadiran kepala sekolah dari non-Muslim. Banyak juga yang lebih memilih menolak kehadiran guru non-Muslim mengajar di sekolah mereka; tak rela ada umat lain membangun gereja, pura atau wihara di lingkungan mereka; melarang muridnya ikut merayakan “kebiasaan “beradab” orang Barat yang lebih Islami”; dan masih banyak lagi.
Dan yang diberitakan di Koran, senada dengan survei sebelumnya kecuali angka yang lebih “mencemaskan”. The Jakarta Post menuliskan kalau survey PPIM menemukan “fenomena peningkatan intoleransi keagamaan” di kalangan Muslimin Indonesia dalam 10 tahun terakhir. “Sebuah studi yang mengisyaratkan adanya keterkaitan dengan meningkatnya fundamentalisme Islam di negara ini,” kata Koran itu.
Lebih detil, dengan membawa angka dan persentase survei, The Jakarta Post menulis kalau lebih dari separo responden – 1.200 orang per tahun, katanya – kian tak rela anaknya diajar guru Kristen; tak rela menerima pendirian gereja atau rumah ibadah lainnya di lingkungan mereka.
Saya sadar ini hari Selasa dan tak ingin menambah keruwetan pikiran Anda dengan menganalisa semua itu. Tapi saya bisa pastikan ke Anda satu hal: lembaga riset dan media yang mewartakan hasil survey “intolerasi” kaum Muslim Indonesia – dengan skeptisisme minim, tentunya – nampaknya hanya ingin mengabarkan apa yang mereka suka dan apa yang sudah menjadi pesanan. Sebab survey yang katanya riset itu juga terlihat lemah karena gagal mengungkap fakta penting toleransi yang tumbuh subur di seluruh negeri jauh.
Di Manado, Sulawesi Utara, misalnya, warga Islam dan Kristen hidup berdampingan dengan mesra. Beberapa laporan media belakangan menyebutkan toleransi di kawasan mayoritas Kristen itu begitu kuatnya hingga Yahudi, agama yang tak pernah diakui secara resmi oleh negara, bisa mendapatkan tempat.
Laporan pers lokal menyebutkan kalau pemerintah daerah di Air Madidi, lepas kota Manado, telah mengeluarkan uang pajak rakyat sekitar Rp 3 miliar sejak 2008 untuk mendirikan sebuah Kaki Kian atau Menorah dalam tradisi agama Yahudi.