Bank syariah sudah menjadi banyak alternatif umat manusia entah muslim atau non muslim yang ingin menghindari diri dari riba dan mematuhi aturan-aturan Islam yaitu melarang umatnya untuk menghindari maysir, gharar dan riba (Magrib) dalam setiap aktivitas ekonomi. Berbeda dengan bank konvensional yang memang sejak dulu menggunakan sistem bunga, bank syariah menggunakan sistem bagi hasil yang menguntungkan kedua pihak namun tetap dalam rambu-rambu syariah.
Sayangnya, walaupun menggunkan embel-embel syariah, dari berbagai macam tulisan di dunia maya, hal-hal negatif yang terdapat dalam lembaga keuangan syariah khususnya di perbankan tetap saja tak terhindarkan. Bagi para pembaca yang up to date mengenai perkembangan bank syariah di Indonesia, hal ini bukan lagi sesuatu yang asing terdengar. Sebagian besar hanya menyoroti masalah penagihannya yang masih mengacu pada bank konvensional maupun berlakunya akad yang terkadang tidak sesuai dengan syari’ah. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Pekerjaan penagih utang (debt collector) akhir-akhir ini banyak mendapatkan sorotan dan sekaligus menimbulkan keresahan dari masyarakat karena adanya kejadian ketidakjelasan/gharar keberadaan anggunan berupa sertifikat tanah dan bangunan oleh nasabah Bank Mandiri Syariah (BSM) saat nasabah (Syafie) meminjam uang kepada bank tersebut. Belum selesai proses hukum tersebut, bank syariah langsung mengirimkan debt collector untuk menagih angsuran nasabah tersebut. Syafe’i pun menyayangkan tindakan tersebut, menurutnya sesuai aturan, seharusnya pihak BSM menunggu hingga proses hukum selesai, malah pihak BSM sering mendesak dirinya, untuk segera membayar sisa pinjaman
Kritikan terhadap sepak terjang para debt collector yang sangat meresahkan tersebut tidak hanya muncul dari kalangan masyarakat biasa, melainkan telah mendorong para penyelenggara negara, termasuk kalangan legislatif dan otoritas moneter untuk bereaksi keras. Debt collector adalah orang atau sekumpulan orang sebagai pihak ketiga yang dimintai jasanya oleh perbankan dan lembaga keuangan untuk menagih utang atau kredit yang bermasalah dari nasabahnya. Penggunaan jasa penagih utang ini sudah sangat lazim, bahkan bisa dikatakan menjadi bagian tak terpisahkan dari industri perbankan dan lembaga keuangan. Namun masalahnya, kehadiran debt collector selama ini justru meresahkan nasabah. Dalam menjalankan tugasnya, para penagih utang ini seringkali mengabaikan asas kesopanan dan kepatutan, bahkan tidak jarang menjurus ke arah premanisme. Mereka kerap pula meneror dan mengintimidasi nasabah.
Profesi debt collector sendiri masih menjadi perdebatan baik dari kalangan perbankan, DPR maupun masyarakat luas. Mereka mempermasalahkan dasar hukum, Standar Operasional dan Prosedur (SOP), hak dan kewajiban serta hubungan kerja debt collector dengan pihak bank. Adanya ketidakjelasan tersebut membuka peluang yang sangat lebar pada tindakan pelanggaran hukum. Dalam anggapan masyarakat, debt collector selalu identik dengan bahasa kekuatan fisik yang mengarah kepada premanisme, tentu hal itu sebuah praktik kemunduran peradaban jika terbukti adanya premanisme pada institusi formal perbankan dalam sebuah negara.
Gencarnya jasa debt collector ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan masyarakat yang berutang kepada institusi maupun masyarakat. Hal ini turut dipengaruhi oleh gencarnya iklan produk baru dari para produsen dan juga kemudahan untuk memilikinya melalui fasilitas kredit yang ditawarkan penjual (retailer) yang bekerjasama dengan bank atau lembaga keuangan lainnya. Iming-iming diskon, bebas uang muka dan bunga cicilan yang ringan seringkali berhasil memikat hati calon konsumen untuk membeli terlepas apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau sekadar untuk memuaskan hasrat berbelanja belaka. Konsumen yang tidak bisa membedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (want) seringkali terjebak dengan tuntutan untuk membeli produk-produk baru dan larut dalam pola hidup konsumerisme. Celakanya, karena uang di tangan tidak mencukupi, mereka pun memilih berutang atau mengajukan fasilitas kartu kredit. Memiliki kartu kredit pada akhirnya dipandang sebagai gengsi. Selanjutnya, memiliki utang tidak lagi dianggap aib, akan tetapi menjadi gaya hidup sebagian masyarakat modern. Tentu saja, ini merupakan sebuah gaya hidup yang menjebak dan dapat menjerat pelakunya sendiri. Banyak di antara mereka yang berutang hanya sekadar untuk terlihat gengsi dalam pandangan orang lain, seperti berutang untuk membeli handphone atau baju baru. Tidak saja diperkotaan, masyarakat di pedesaan pun akhir-akhir ini juga menggunakan kartu kredit.
BI telah mengeluarkan Surat Edaran mengenai bank yang memakai jasa ketiga untuk penagihan kredit. Hal itu tercantum dalam Surat Edaran BI No.11/10/DADP Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Dalam halaman 38 disebutkan penerbit kartu yang menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit dapat dilakukan. Pertama, jika kualitas tagihan kartu kredit telah termasuk kolektibilitas diragukan atau macet. Kedua, penagihan pihak lain dilakukan dengan cara yang tidak melanggar hukum. Ketiga, dalam perjanjian kerja sama antara penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi kartu kredit tersebut harus memuat klausul tentang tanggung jawab penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja sama dengan pihak lain.
Dalam aturan perbankan syariah, pihak bank syariah tidak boleh menagih nasabah dengan menggunakan debt collector apabila pihak nasabah tersebut memang tidak mampu membayar angsuran. Berbeda dengan nasabah yang memang mampu membayar namum tidak mau membayar. Jika musyawarah tetap belum bisa menyelesaiakan perselisihan, maka penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah (BAS) atau melalui Pengadilan Agama, Hal ini berbeda dengan perkara di bank konvensional yang bisa diselesaikan di pengadilan umum.
Kita bisa mencontoh dari salah satu bank syariah di Indonesia yang memilih untuk tidak memakai jasa debt collector dalam penagihan mereka. Tetapi, pihak bank menggunakan beberapa cara seperti memberi surat pemberitahuan, surat penagihan sampai 3 kali, lalu dilanjutkan dengan surat peringatan hingga tiga kali, lalu dilanjutkan surat peringatan sampai tiga kali. Jika nasabah masih belum membayar angsurannya, pihak bank menempuh jalur hukum dengan cara memanggil nasabah melalu pengadilan. Apabila tidak ada tanggapan, pihak bank meminta pengadilan untuk menyita aset yang dijaminkan namun tetap dengan menggunakan asas kesopanan dan kepatutan.
Sumber :