Lihat ke Halaman Asli

Okza Hendrian

Electoral Analyst di Sygma Research and Consulting

Rencana Kabinet Gemuk Prabowo: Strategi Nasional atau Bagi-bagi Jabatan?

Diperbarui: 5 Oktober 2024   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Antara News

Usulan Prabowo Subianto untuk membentuk kabinet dengan 40 menteri pada periode pemerintahannya ke depan mengundang berbagai pandangan dari kalangan politik, akademisi, dan masyarakat. Langkah ini, yang menyimpang dari batas maksimal 34 menteri sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, memicu pertanyaan tentang apakah kebijakan ini demi kepentingan rakyat atau lebih untuk mengakomodasi kepentingan kelompok politik tertentu.

Sebagai salah satu aktor politik terkemuka di Indonesia, Prabowo Subianto telah bertransformasi dari lawan politik menjadi bagian integral dari pemerintahan Jokowi sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pengalaman ini memberikan pandangan berbeda mengenai langkah politik akomodatif yang diambilnya. Dengan latar belakang tersebut, mari kita telaah strategi politik akomodatif dalam konteks kepentingan rakyat dan kelompok, serta implikasinya terhadap pemerintahan.

Politik Akomodatif

Menurut Giovanni Sartori dalam Parties and Party Systems: A Framework for Analysis (1976), politik akomodatif merujuk pada pendekatan di mana berbagai kelompok politik yang berbeda, termasuk oposisi, diakomodasi dalam pemerintahan untuk menciptakan stabilitas dan mengurangi konflik. Hal ini sejalan dengan prinsip pluralisme politik, di mana pemerintahan berusaha untuk menciptakan konsensus di antara berbagai kekuatan politik. Dalam konteks ini, keputusan Prabowo untuk memperluas kabinetnya bisa dipahami sebagai upaya untuk merangkul berbagai kelompok politik dan memastikan stabilitas politik yang lebih luas.

Namun, Arend Lijphart, dalam bukunya Patterns of Democracy (1999), memperingatkan bahwa politik akomodatif bisa memiliki risiko menjadi sekadar bagi-bagi kursi untuk menjaga dukungan politik tanpa memberikan hasil nyata bagi rakyat. Ketika pengangkatan menteri lebih difokuskan pada kepentingan kelompok tertentu, ada bahaya bahwa efisiensi pemerintahan akan terganggu dan kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak berpihak pada kepentingan publik.

Rencana Kabinet Prabowo dan Kepentingan Rakyat

Langkah Prabowo untuk mengusulkan 40 kementerian, termasuk kementerian baru seperti Kementerian Pangan Nasional dan Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, mencerminkan keinginannya untuk memperkuat pemerintahan di bidang-bidang yang dianggap strategis bagi pembangunan nasional. Sebagai negara dengan populasi yang besar dan wilayah yang luas, Indonesia memang membutuhkan perhatian khusus pada sektor-sektor ini. Penguatan struktur kabinet diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintah dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks di masa mendatang.

Namun, perlu diingat bahwa penambahan kementerian harus sejalan dengan prinsip efisiensi dan efektifitas. Seperti yang dikemukakan oleh David Easton dalam teori Political System, keberhasilan pemerintahan diukur dari sejauh mana sistem politik dapat merespon input dari masyarakat dan menghasilkan output yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Jika penambahan kementerian hanya bertujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik, maka efektivitas pemerintahan bisa dipertanyakan.

Selain itu, menurut Max Weber dalam konsepnya tentang birokrasi, pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan birokrasi yang rasional, efisien, dan sesuai dengan aturan yang jelas. Dalam konteks ini, jika penambahan menteri hanya menghasilkan pembengkakan birokrasi tanpa peningkatan kinerja, maka kebijakan ini bisa dianggap kontra produktif bagi kepentingan rakyat.

Batasan Hukum dan Tantangan Efisiensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline