Lihat ke Halaman Asli

Okza Hendrian

Electoral Analyst di Sygma Research and Consulting

Fenomena Calon Tunggal dan Kotak Kosong di Pilkada 2024

Diperbarui: 21 September 2024   15:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Kompas.com/dk

Pilkada Serentak 2024 di Indonesia kembali diwarnai oleh fenomena 'calon tunggal' melawan 'kotak kosong', situasi yang terjadi di 41 daerah dari total 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Meski secara legal diperbolehkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, fenomena ini menimbulkan perdebatan mengenai dampaknya terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah ini mencerminkan perkembangan demokrasi yang sehat atau justru sebaliknya, memperlihatkan kelemahan struktural dalam sistem politik yang ada.

Secara teori, 'kotak kosong' dalam pilkada memberikan alternatif bagi pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal yang ada. Dengan mencoblos kotak kosong, masyarakat menunjukkan ketidakpuasan terhadap calon yang tersedia, dan jika kotak kosong menang, pilkada harus diulang dengan syarat calon yang sebelumnya diajukan tidak dapat mencalonkan diri kembali. Namun, di balik mekanisme demokrasi ini, muncul pertanyaan lebih mendasar mengenai kegagalan partai politik dalam menciptakan kompetisi politik yang sehat.

Kurangnya Kompetisi: Kegagalan Sistem Politik?

Fenomena calon tunggal sering kali dikaitkan dengan kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi dan seleksi kandidat yang berkualitas. Masalah ini sebagian besar berakar dari peran partai politik yang tidak mampu mengusung lebih dari satu pasangan calon. Dalam banyak kasus, partai politik memilih untuk berkoalisi dan menghindari kompetisi ketat, karena lebih mudah menjamin kemenangan jika tidak ada pesaing yang signifikan. Akibatnya, pilihan politik masyarakat menjadi terbatas, yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang mengutamakan kompetisi sebagai sarana untuk memilih pemimpin terbaik.

Partai politik juga tampak lebih mengutamakan kepentingan pragmatisme politik daripada menghadirkan calon yang berkualitas. Koalisi besar yang dibentuk oleh partai-partai di banyak daerah untuk mendukung satu pasangan calon sering kali dilakukan bukan karena alasan ideologis, melainkan untuk menjaga kepentingan jangka pendek dan mengamankan posisi politik mereka. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia sedang menuju ke arah oligarki politik, di mana kompetisi politik dirancang untuk dihindari demi mempertahankan status quo kekuasaan.

Demokrasi Prosedural tanpa Substansi

Samuel Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991) menjelaskan bahwa salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi adalah ketika sistem politik hanya menjadi prosedural dan kehilangan esensinya sebagai arena kompetisi yang sehat. Demokrasi yang sehat menuntut adanya pilihan nyata bagi pemilih, di mana partai politik dan kandidat saling bersaing menawarkan visi dan kebijakan yang berbeda. Namun, dalam banyak kasus Pilkada dengan calon tunggal, pemilih tidak memiliki pilihan selain mendukung calon yang sudah pasti atau memilih kotak kosong sebagai bentuk protes.

Larry Diamond dalam bukunya The Spirit of Democracy (2008) menekankan pentingnya kompetisi politik dalam mempertahankan legitimasi demokrasi. Menurutnya, ketika masyarakat tidak diberi pilihan yang memadai, legitimasi pemerintah yang terpilih dapat dipertanyakan. Dalam konteks Pilkada 2024, meskipun pemilihan dengan calon tunggal tetap sah secara hukum, absennya kompetisi yang sehat dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi itu sendiri. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sistem demokrasi Indonesia masih belum mampu sepenuhnya menghadirkan kompetisi politik yang merata di seluruh daerah.

Kotak Kosong sebagai Simbol Protes

Dalam beberapa kasus, kemenangan kotak kosong dalam pilkada dianggap sebagai bentuk protes terhadap kandidat yang dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada proses politik, di mana calon tunggal sering kali muncul karena dominasi partai politik besar atau ketidakmampuan partai-partai lain untuk mencalonkan kandidat yang kompetitif. Sebagai contoh, Pilkada Kota Makassar 2018 menjadi salah satu bukti nyata di mana kotak kosong berhasil menang melawan calon tunggal, menunjukkan ketidakpuasan yang luas terhadap calon yang diusung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline