Rencana Prabowo Subianto untuk membentuk kabinet zaken atau kabinet berbasis keahlian telah menimbulkan banyak diskusi dan spekulasi di kalangan publik, politisi, dan pengamat politik.
Ide kabinet zaken sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah politik dunia, tetapi dalam konteks politik Indonesia yang penuh dengan dinamika koalisi, ide ini menjadi menarik sekaligus menantang untuk diimplementasikan.
Apakah kabinet zaken dapat menjawab kebutuhan Indonesia akan pemerintahan yang efektif dan efisien? Ataukah ini hanya menjadi sebuah gimik politik yang digunakan untuk memenangkan simpati publik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mendalami makna kabinet zaken, tantangan politik di Indonesia, serta bagaimana konsep ini dapat berfungsi dalam sistem pemerintahan yang kompleks.
Apa itu Kabinet Zaken?
Kabinet zaken secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai kabinet yang beranggotakan para ahli di bidangnya masing-masing. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan sebuah pemerintahan yang memilih menteri-menteri berdasarkan kemampuan teknokratis mereka, bukan atas dasar afiliasi politik atau imbalan politik. Sejarah kabinet zaken dapat ditelusuri kembali ke pemerintahan Eropa, khususnya di Belanda, di mana kabinet zaken digunakan dalam situasi-situasi krisis untuk memastikan stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Dalam konsepnya, kabinet zaken diharapkan dapat mengambil keputusan yang lebih rasional dan teknis karena anggota kabinetnya bukan berasal dari kalangan politisi, melainkan ahli di bidangnya, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Dalam konteks Indonesia, wacana kabinet zaken sebenarnya pernah muncul sebelumnya, terutama dalam situasi krisis ekonomi dan politik. Namun, implementasi kabinet zaken penuh dengan tantangan karena karakter politik Indonesia yang berkoalisi dan plural. Seringkali, kabinet Indonesia dipenuhi dengan tokoh-tokoh partai politik sebagai bentuk kompromi untuk menjaga kestabilan koalisi pemerintah. Dengan demikian, wacana kabinet zaken dalam kepemimpinan Prabowo menjadi menarik karena ia berjanji akan membawa lebih banyak ahli ke dalam kabinetnya, bukan hanya politisi.
Realitas Politik Indonesia
Untuk memahami tantangan yang dihadapi oleh Prabowo dalam membentuk kabinet zaken, kita harus melihat lebih dalam karakter politik Indonesia yang penuh dengan kompromi. Sistem politik Indonesia, sejak reformasi, menganut sistem multipartai di mana presiden hampir selalu harus berkoalisi dengan beberapa partai politik untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Dalam kondisi seperti ini, sering kali penunjukan menteri tidak hanya didasarkan pada kompetensi, tetapi juga merupakan hasil negosiasi politik.
Sebagai contoh, dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), banyak menteri berasal dari partai politik, termasuk dari partai oposisi yang akhirnya bergabung dalam koalisi pemerintahan. Posisi menteri di Indonesia sering kali dilihat sebagai "hadiah" politik bagi partai yang memberikan dukungan kepada presiden. Dengan demikian, sulit untuk membayangkan bahwa seorang presiden dapat sepenuhnya membentuk kabinet zaken tanpa mengakomodasi kepentingan politik partai-partai tersebut.
Namun, Prabowo tampaknya ingin mematahkan tradisi ini. Dalam beberapa wawancara, ia menyatakan bahwa kabinetnya akan diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya, terlepas dari afiliasi politik mereka. Ia juga berencana untuk mengurangi pengaruh partai politik dalam penunjukan menteri dan lebih mengedepankan profesionalisme. Meskipun hal ini terdengar menarik dan dapat menjadi langkah maju dalam menciptakan pemerintahan yang lebih efisien, apakah ini benar-benar bisa diwujudkan dalam realitas politik Indonesia?