Dalam sebuah pernyataan yang mencuri perhatian, Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan dan ketua Partai Gerindra, baru-baru ini menyatakan komitmennya untuk melanjutkan berbagai program dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sinyal tegas itu disampaikan Prabowo dalam sambutannya pada penutupan Rapimnas Partai Gerindra baru-baru ini. Mantan Jendral Kopassus itu menegaskan dukungannya terhadap kebijakan-kebijakan Jokowi yang telah berjalan, menunjukkan posisi Gerindra yang mendukung kesinambungan dalam pelaksanaan program-program pemerintahan saat ini.
Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai sikap dan strategi politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke depan, terutama dalam konteks pemerintahan yang mungkin dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. PKS, yang selama ini dikenal dengan posisi oposisi dan kritik tajam terhadap kebijakan Jokowi, kini menghadapi dilema strategis. Apakah mereka akan tetap berada di luar pemerintahan, mempertahankan peran mereka sebagai kekuatan oposisi, ataukah mereka akan mempertimbangkan untuk bergabung dengan pemerintahan baru?
Secara historis, PKS telah berkomitmen pada posisi oposisi, secara konsisten mengkritik program-program pemerintahan Jokowi yang mereka anggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip mereka. Kritik mereka sering kali terkait dengan proyek-proyek infrastruktur besar yang dianggap tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat secara merata atau dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan sosial yang mereka perjuangkan. Dalam situasi ini, keputusan PKS untuk tetap sebagai oposisi atau bergabung dengan pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo-Gibran menjadi krusial untuk dipertimbangkan.
Jika PKS memilih untuk tetap menjadi oposisi, mereka akan melanjutkan peran mereka sebagai pengawas kebijakan dan menjaga jarak dari keputusan-keputusan pemerintahan yang tidak mereka dukung. Posisi ini akan memungkinkan PKS untuk terus mengkritik dan menawarkan alternatif kebijakan, serta menjaga konsistensi ideologis mereka yang sudah lama menjadi bagian dari identitas politik mereka.
Namun, jika PKS memutuskan untuk bergabung dengan pemerintahan baru, mereka harus siap untuk berkompromi dengan beberapa prinsip dan kebijakan yang mereka kritik selama ini. Bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran bisa memberikan PKS kesempatan untuk mempengaruhi langsung pembuatan kebijakan dan berkontribusi pada implementasi program-program yang mereka sebelumnya kritik. Ini juga dapat memberikan mereka akses ke posisi-posisi strategis dan sumber daya yang mungkin memperkuat posisi mereka dalam peta politik nasional. Namun, keputusan ini juga datang dengan risiko kehilangan kredibilitas sebagai partai oposisi yang independen, serta potensi ketidakpuasan di kalangan pemilih yang menghargai posisi kritis PKS.
Dalam konteks politik yang dinamis ini, PKS harus mempertimbangkan dengan cermat keuntungan dan kerugian dari kedua opsi tersebut. Apakah tetap di luar pemerintahan sebagai oposisi memberikan mereka keuntungan strategis yang lebih besar dalam jangka panjang, ataukah bergabung dengan pemerintahan akan membuka peluang baru untuk mempengaruhi kebijakan dan memperluas pengaruh mereka?
Keputusan ini akan mencerminkan strategi politik PKS dan dampaknya terhadap posisi mereka dalam politik Indonesia ke depan. Dalam menghadapi perubahan besar dalam pemerintahan dan agenda politik yang sedang berkembang, PKS harus menilai dengan teliti bagaimana langkah mereka akan memengaruhi kekuatan politik dan relevansi mereka dalam peta politik nasional.
Keputusan Rasional dan Pragmatis
Dalam memahami posisi PKS, analisis realpolitik yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau dalam bukunya "Politics Among Nations" (1948) menjadi sangat relevan. Teori ini menyatakan bahwa keputusan politik sering kali didasarkan pada pertimbangan pragmatis dan kekuatan tawar-menawar. Dalam konteks ini, PKS sebagai partai yang sering mengambil posisi oposisi sejak awal pemerintahan Jokowi akan diuji konsistensinya apakah pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran akan tetap diluar pemerintah atau gabung dengan pemerintahan. Terlebih PKS dikenal sebagai partai yang kontra dengan Jokowi dan Pemerintahan selanjutnya telah mendeklarasikan akan meneruskan semua program-program Jokowi. Namun jika mengacu pada "realpolitik" keputusan PKS untuk bergabung dengan pemerintahan atau tetap sebagai oposisi sangat bergantung pada tawaran konkret dari koalisi pemerintah. Jika ada tawaran yang signifikan dalam hal pengaruh politik atau akses ke sumber daya, PKS mungkin akan mempertimbangkan untuk bergabung. Namun, mereka juga harus menilai risiko terhadap konsistensi ideologi mereka. Tawaran untuk bergabung dengan pemerintahan bisa melibatkan posisi strategis dan akses ke sumber daya yang dapat memperkuat posisi PKS dalam pembuatan kebijakan. Namun, ini juga memerlukan pertimbangan mendalam tentang bagaimana hal tersebut dapat mempengaruhi prinsip dan platform politik partai.
Konsistensi Platform Politik
"Political Parties and Democracy in Indonesia" oleh K. A. O'Rourke (2015) menekankan pentingnya konsistensi dalam platform politik. PKS dikenal dengan platformnya yang berfokus pada nilai-nilai Islam dan keadilan sosial. Bergabung dengan pemerintahan dapat mempengaruhi konsistensi platform ini, terutama jika PKS harus melakukan kompromi terhadap kebijakan atau prinsip-prinsip mereka. Keterlibatan dalam pemerintahan seringkali memerlukan konsesi politik yang dapat merugikan identitas partai. PKS, yang selama ini memposisikan diri sebagai partai yang kritis dan independen, mungkin merasa bahwa bergabung dengan koalisi pemerintahan akan mengancam integritas politik mereka.