Dalam pernyataannya baru-baru ini, Anies Baswedan menyatakan keinginannya untuk mendirikan organisasi massa atau partai politik baru.
Hal ini memicu diskusi penting mengenai masa depan politik di Indonesia, khususnya terkait dengan model partai politik berbasis ketokohan.
Apakah pendekatan semacam ini dapat menawarkan solusi untuk tantangan demokrasi di Indonesia, atau justru berpotensi mengarah pada elitisme yang merugikan proses demokrasi?
Ketokohan sangat diperlukan dalam memobilisasi massa disisi lain partai politik yang tidak berbasis ideologi yang kuat namun justru menekankan pada ketokohan cenderung akan menjadi partai yang elitis.
Sejarah Partai Politik Berbasis Ketokohan di Indonesia
Sejarah politik Indonesia telah mencatat berbagai contoh partai politik berbasis ketokohan yang berperan signifikan. Contohnya, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno pada tahun 1927.
Sukarno tidak hanya sebagai pendiri, tetapi juga sebagai sosok sentral yang menjadi pusat gravitasi politik. Selama era Orde Lama, kepemimpinan Sukarno sangat dominan dalam struktur politik negara.
Di era setelah kemerdekaan, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan kemudian PDI-P, di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, menjadi contoh lain dari partai berbasis ketokohan. Megawati, sebagai putri Sukarno, membawa karakteristik ketokohan dalam politik Indonesia yang berlanjut hingga saat ini.
Pada masa Orde Baru, Partai Golkar berfungsi sebagai kendaraan politik utama Presiden Soeharto. Meskipun Golkar memiliki struktur yang kompleks, kekuasaan Soeharto dan partai ini sering kali terlihat sebagai satu kesatuan, memperlihatkan betapa terpusatnya kekuasaan dalam individu tertentu.
Sejarah Indonesia mengajarkan bahwa partai politik berbasis ketokohan sering kali menghadapi risiko elitisme dan pengurangan partisipasi publik.