Hari masih pagi ketika saya berangkat terburu-buru dari rumah menuju Gedung DPRD Kabupaten Cianjur. Karena tidur terlalu lelap saya terbangun pada pukul 05.35 WIB. Hari itu saya berencana akan mengikuti kegiatan dan acara yang diselenggarakan Komunitas Historika Indonesia dengan disokong oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berjudul "Napak Tilas dan Diskusi Sejarah: Perang Konvoi Tjiandjoer-Tjirandjang 1945-1946 Dalam Perspektif Sejarah". Matahari mulai menaiki ufuk ketika saya berjalan tidak terlalu santai menuju shelter angkutan kota. Pukul 06.05 WIB.
Sebelum berangkat dari rumah karena saya secara sadar telah menyadari bahwa saya akan terlambat, saya menghubungi pihak panitia yang tercantum di soft-poster informasi. Tono nama kontak personnya. Saya menyatakan bahwa saya baru akan berangkat, di jalan menaiki angkutan kota pukul 06.00 WIB lebih. Mas Tono menjawab tidak apa-apa. Percakapan itu dilakukan di media sosial WhatsApp.
Saya tiba di gedung 'wakil rakyat' DPRD Kabupaten Cianjur kurang lebih pukul setengah 7. Peserta belum banyak yang hadir untuk melakukan registrasi ulang. Entah kebetulan atau bagaimana, pada hari Sabtu tersebut di halaman gedung DPRD pun sedang berlangsung acara perlombaan mobil pribadi. Saya tidak terlalu memerhatikan hal tersebut. Disana tanpa disangka ternyata adik tingkat saya ketika di SMA yang sekarang menjadi mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi, Tasikmalaya bernama Jembar mengikuti pula acara ini.
Pertemuan yang tidak disangka ini membuat kami mengobrol kesana-kemari membicarakan beraneka permasalahan berkaitan dengan disiplin ilmu yang sedang kami pelajari saat ini. Bagaimana adanya perbedaan kurikulum serta pengajaran antara jurusan sejarah dan jurusan pendidikan sejarah. Buku-buku pegangan sampai kemudahan akses mendapatkan literatur kesejarahan. Saya sangat bersyukur bahwa domisili kampus saya tidak terlalu jauh dari pusat-pusat perbukuan maupun perpustakaan. Kondisi yang harus diperbaiki untuk ke depannya bagi pengambil kebijakan untuk masalah perguruan tinggi maupun dalam masalah pusat-pusat literatur di daerah.
Setelah berbincang-bincang selama kurang lebih 30 menit dengannya, panitia akhirnya mengumpulkan peserta napak tilas untuk diberi pengarahan dalam memulai kegiatan napak tilas. Semua peserta napak tilas termasuk saya dan Jembar langsung naik ke bus yang telah disediakan oleh panitia. Kami mengambil tempat duduk di bagian tengah bus. Tepat sekitar pukul 7 bus berangkat dari Gedung DPRD di Jl. KH. Abdullah bin Nuh menuju Jl. Raya Cianjur-Bandung. Tujuan kami ialah menuju jembatan Cisokan Lama.
Bus melaju dengan kecepatan sedang. Salah seorang panitia membuka kegiatan napak tilas. Sepatah dua patah kalimat dia sampaikan. Setelah itu dia memberikan microphone kepada narator napak tilas bernama Hendi Jo. Jurnalis sejarah majalah Historia. Hendi memulai narasi perang konvoi ini dengan mengatakan bahwa dahulu pada masa Revolusi Fisik 1945-1949 khususnya di rentang 1945-1946 di lokus Cianjur khususnya terjadi perang yang cukup membuat Inggris kewalahan sebagai pemenang Perang Dunia ke-II.
Bus menyusuri Jl. KH. Abdullah bin Nuh lalu masuk ke jalan by pass. By passini menurut Hendi bukan jalan yang dilalui tentara Inggris yang datang dari Bogor lalu masuk ke Sukabumi untuk kemudian memasuki Cianjur. Pasukan Inggris tepatnya melewati daerah Sukabumi, Sukaraja, Gekbrong, Pasir Hayam, Cikaret, lalu Cianjur Kota. Baru setelah jalur by passhabis, Hendi memulai narasi sesungguhnya mengenai perang konvoi ini. Dimulai di wilayah tegaknya tugu tauco sekarang.
Hendi menuturkan pasukan Inggris yang datang ke Indonesia bertujuan melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan serta internirannya, dan mengembalikan Indonesia kepada kolonialisnya yakni Belanda. Hal ini merupakan konsekuensi dari Perjanjian Postdam antara pihak Sekutu dengan pihak yang kalah perang dalam Perang Dunia ke-II salah satunya Jepang.
Sebenarnya pemerintah pusat dalam konteks ini bertindak kooperatif dalam menerima kedatangan Sekutu di Indonesia. Namun karena pada zaman itu koordinasi antara pusat dengan daerah belum terbangun dengan baik, maka keinginan politis pusat tidak dapat diterjemahkan oleh para Republikan di daerah.
Selama berkonvoi dari Gekbrong ke Ciranjang tersebut, pasukan Inggris terutama Gurkha Riffle, pasukan Inggris yang diambil dari orang-orang Nepal bisa dikatakan kewalahan menghadapi taktik hit and rundan siasat perang kotanya para Republikan. Bahkan di daerah Cikaret tepatnya di jembatan Cikaret, sebuah tank Inggris sempat terperosok karena melalui jalur yang ditanam bom batok di bawahnya. Seorang tentara berpangkat kolonel terluka parah hingga akhirnya tewas. Hendi mengatakan hal tersebut dinarasikan jelas dalam buku The Fighting Cock 23rd Indian Division.
Bus melewati Jl. Muka lalu berbelok ke kanan memasuki Jl. Raya Cianjur-Bandung. Dulu, papar Hendi, jalan raya Cianjur-Bandung ini belum seperti sekarang yang sudah tidak ada pepohonan mahoni lebat di kanan-kirinya. Dia mengatakan bahwa orang-orang yang kelahiran tahun 1980 kebawah seperti dirinya dan pernah melewati jalan raya ini relatif masih mengingat bahwa dulu jalan raya ini di kanan-kirinya terdapat deretan pepohonan mahoni. Kondisi jalan raya seperti itu kurang lebih sama dengan masa perang konvoi ketika tentara Inggris melewati jalur tersebut.