Lihat ke Halaman Asli

Bagus itu "Cheng-Li"

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Lalu aku bangkit dan dengan tidak memikirkan akibatnya, Sian-Mo ku pegang erat dan ku berbisik di telinganya”. Kalimat tersebut merupakan sepenggal kisah tentang Asmara dalam Rumah Sakit karya Tan Lie Lian yang dipamerkan di pameran budaya Tiong-Hoa, Cheng-Li.

Di tengah maraknya pameran-pameran yang bertebaran di seluruh sudut kota Jogja, muncullah suatu pameran yang sangat berbeda dari yang lain. Dengan mengusung kebudayaan Tiong-Hoa, pameran ini menarik perhatian dengan spanduk warna merah cerah yang dipasang di Gedung Bentara Budaya Kompas. Spanduk warna merah itu dengan jelas menunjukkan kata Cheng-Li yang ditulis dengan gaya huruf ber-genre Tiong-Hoa. Pameran yang dibuka dari tanggal 3-11 Mei 2011, memamerkan berbagai karya-karya seni tempo dulu seperti hikayat, Tjerita Roman, poster, wayang, kartu ramalan serta iklan-iklan.

Karya-karya yang ditampilkan ternyata merupakan koleksi dari sekelompok orang yang memiliki hobi mengumpulkan barang-barang peninggalan tempo dulu. Sebelum pameran “Cheng-Li”, mereka telah menyelenggarakan pameran karya-karya budaya tempo dulu dengan tema-tema kebudayaan daerah lain, misalnya Jawa, Melayu, dan lain sebagainya. Hanya saja, untuk pameran kali ini sekelompok orang ini tertarik untuk membuat pameran kebudayaan Tiong-Hoa dengan menonjolkan karya-karya seni. Semakin menarik karena di pameran ini terdapat karya-karya dari illustrator berdarah asli Tiong-Hoa seperti, Siaw Tik Kwe, Kho Wan Gie, Lou Jeng Tie, Lo Liong Man.

Pameran ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat Jogja. Terbukti dari pembukaan pameran yang dihadiri lebih dari 200 orang yang tidak hanya berasal dari kalangan Tiong-Hoa saja tetapi juga dari kalangan umum. Tujuan dari pameran ini sebenarnya untuk mengenalkan kepada masyarakat luas tentang budaya Tiong-Hoa khususnya dalam hal karya seni di tanah Jawa. “Luar biasa! Mengulas budaya dan seni masa lalu yang belum pernah kulihat karena aku belum lahir pada masa itu”, ungkap Okta, seorang mahasiswa yang mengunjungi pameran ini. Menurutnya, karya yang mencuri perhatiannya adalah kalender yang dicetak tahun 1942. Dimana terdapat pepatah-pepatah Tionghoa yang melengkapi unsur tanggal dan bulan dalam kalender tersebut. Kalender yang dicetak oleh Boen Hwa Bandung, ternyata merupakan karya dari Kwo Wan Gie.

Bila diperhatikan dengan seksama, terdapat karya-karya perpaduan antara budaya Tiong-Hoa dengan budaya Jawa, misalnya dalam Tjerita Roman berbentuk ilustrasi yang menampilkan gambar gamelan. Selain itu, terdapat wayang kulit ala Tiong-Hoa terdapat sedikit unsur budaya Jawa. Untuk memuaskan para pengunjung, penyelenggara pameran sengaja mencetak ulang poster-poster tempo dulu ke dalam ukuran yang lebih besar. Walaupun begitu, hampir sebagian besar karya-karya yang ditampilkan masih dalam wujud aslinya. Di beberapa cerita ilustrasi terdapat unsur kehidupan politik serta ekonomi yang ada pada era 40an.

Menurut penjaga pameran yang sedang bertugas, hampir sebagian besar pengunjung bertanya arti dari judul pameran, Cheng-Li yang berarti bagus. Selain itu, kebanyakan dari pengunjung mengaku puas dan takjub karena belum pernah melihat karya-karya seperti ini sebelumnya. Selain itu, yang menjadi perhatian pengunjung adalah kalender raksasa dalam bahasa cina yang memiliki ilustrasi anak kecil. Mata pengunjung juga dimanjakan dengan iklan-iklan serta poster tempo dulu yang memiliki cita rasa yang unik. Semakin artistik dengan permainan tinta hitam putih dan paduan gambar serta tulisan yang mewakili pesan dari iklan atau poster tersebut.

Pameran ini tidak hanya sekedar memamerkan budaya Tiong-Hoa, tetapi juga menjual buku-buku yang lebih detail menggambarkan kebudayaan Tiong-Hoa tempo dulu. Selain itu, terdapat buku yang merupakan katalog lengkap dari pameran Cheng-Li ini. Penjualan buku-buku tentang kebudayaan Tiong-Hoa merupakan inisiatif penyelenggara untuk memenuhi keingintahuan pengunjung yang lebih dalam. Pameran dengan menonjolkan suatu unsur budaya sebenarnya bisa menjadi wadah untuk saling “berkenalan” dengan budaya lain. Karena dengan begitu, khazanah pengetahuan akan budaya lain akan semakin bertambah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline