Lihat ke Halaman Asli

Okti Nur Risanti

Content writer

Merdeka dari Ketidakpedulian

Diperbarui: 24 Agustus 2024   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi bendera merah putih (Unsplash -- James Tiono)

Melihat situasi bangsa akhir-akhir ini, saya agak gemas. Bukan hanya pada penguasa dan wakil-wakil rakyat yang beberapa hari ini dibicarakan dan dihujat, tapi juga pada masyarakat kita sendiri. Mengapa sih kita seringnya gagal paham, menghujat, dan menyesal belakangan, dibanding mencegah kebusukan dari awal?

Terlepas dari like atau dislike pada partai, nama-nama, dan wakil-wakil rakyat yang ada, sepertinya kebanyakan dari kita masih memilih orang, partai, dan wakil rakyat berdasarkan popularitas dan "prestasi" semu yang tampak, kalau bukan dari keuntungan pribadi yang akan didapat. Masih belum banyak orang yang benar-benar memilih berdasarkan idealisme, nilai-nilai moral, etika, kebenaran, dan keadilan yang dijunjung para kandidat dan tampak dalam visi misi maupun proses yang dijalaninya. Sementara, justru hal-hal inilah yang seharusnya menjadi dasar dan pertimbangan bagi kita untuk dapat memiliki pemerintah dan wakil rakyat yang amanah, jujur, adil, dan kompeten dalam mengemban kepercayaan yang diberikan.

Tapi, rakyat kan butuh bukti, bukan janji. Butuh makan, bukan idealisme. Dan, butuh yang mudah dicerna, bukan yang terlalu mengawang-awang.

Setuju. Saya tidak bisa menyalahkan masyarakat kita jika sampai berpikir demikian.

Saya bukannya tidak tahu kalau kita semua mungkin sudah terlalu lelah, tidak berdaya, hopeless, atau bahkan tidak punya banyak pilihan dengan situasi hukum serta demokrasi yang selalu terjadi di negara ini. Mulai dari zaman kolonial sampai saat ini, KKN masih saja merajalela. Penguasa yang sulit dipercaya. Wakil rakyat tidak mendengar aspirasi rakyat. Lembaga-lembaga negara kurang terlihat fungsinya. Rakyat hanya dicari saat kampanye, tetapi ditinggalkan saat Pemilu dan Pilkada usai. Pemerintah juga belum serius mendidik dan mencerahkan pemikiran warga negaranya. Lalu, yang sering terjadi, kita sering di-PHP oleh penguasa dan wakill rakyat saat mereka sudah berkuasa. Jadi, untuk apa kita susah-susah berpikir kritis dan idealis? Toh, kita hanya akan selalu mendapat yang itu lagi, yang itu lagi. Sami mawon. Ga ngaruh.

Dan, memang itu fakta yang terjadi saat ini. Kita selalu akan terjebak dalam situasi rumit dan kompleks saat membicarakan carut marut masalah demokrasi, politik, hukum, dan kekuasaan. Apakah kita salah memilih pemimpin dan wakil rakyat? Apakah pemerintah dan wakil rakyatnya yang suka PHP dan tidak amanah? Apakah sistem yang ada sudah tepat? Bagaimana dengan perangkat undang-undang serta penegakan hukum yang terjadi? Lalu, bagaimana dengan faktor budaya, adat, tradisi, geografis, atau situasi politik luar negeri yang memengaruhi? Dan sebagainya, dan seterusnya. Jelas, bukan single factor atau hanya satu faktor yang berpengaruh dalam isu demokrasi, politik, dan kekuasaan ini.

Nah, tapi mari kita berbicara saja pada hal yang paling mendasar dan esensial, yaitu pada partisipasi dan kedaulatan rakyat yang menjadi inti demokrasi. Dalam konteks ini, kita bicara tentang perlunya kedewasaan, sifat kritis, dan kecerdasan rakyat untuk menjadi subjek sekaligus filter utama dalam mewujudkan kedaulatannya. Jika ini tercapai, maka seharusnya elemen serta kunci dasar untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita rakyat dan undang-undang akan tercapai. Masyarakat sejahtera, adil, dan makmur bukan lagi mimpi atau angan-angan yang jauh untuk terwujud. Tidak percaya? Lihat saja pada negara-negara maju macam Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark, Swiss, dsb. Salah satu faktor penting yang membuat mereka maju adalah karena mereka memiliki pemimpin dan pemerintah yang kredibel dan bisa dipercaya.

Lalu, bagaimana cara agar kita bisa menjadi subjek dan filter demokrasi yang dewasa, kritis, dan cerdas?

Dengan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penyelenggara negara, yang kemudian juga kita tindaklanjuti.

Dengan pendidikan, rakyat akan diberi ruang, fasilitas, keterampilan, pengetahuan, dan wacana untuk mampu berpikir kritis serta dalam. Lalu, dengan upaya-upaya pemberdayaan, kita akan didorong, difasilitasi, serta diberi kesempatan agar mampu berkiprah dan berkecimpung dalam dunia politik, kelembagaan, organisasi dan kepemimpinan. Pemerintah dan berbagai lembaga negara dalam hal ini berperan sebagai fasilitator, katalisator, serta dinamisator dalam mendidik dan memberdayakan masyarakat agar dapat menjadi agen-agen demokrasi yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia berdasarkan Pancasila. Barulah setelah itu kita bisa menjalankan peran dengan sebaik-baiknya untuk memilih, memfilter, menyerahkan mandat kepada partai dan orang-orang yang akan menjabat sebagai pemerintah dan wakil rakyat, ikut mengawasi jalannya pemerintahan, fungsi lembaga negara, dan penegakan hukum, bahkan terjun ke dalam dunia politik itu sendiri. Harapannya, jika semua proses ini dijalankan dengan baik, terciptalah pemerintahan yang baik, yang dapat membawa kita menjadi masyarakat yang maju, adil, dan makmur. Namun, jika tidak, boro-boro maju dan sejahtera. Untuk hidup layak saja mungkin akan menjadi standar yang sulit untuk dicapai oleh banyak orang.

Tengok saja pada zaman penjajahan dulu. Saat itu, bangsa kita dibuat menjadi bodoh, miskin, dan terpecah agar tidak mampu melawan penjajah. Jangan sampai hal yang sama terjadi sekarang pada saat kita sudah merdeka dan lepas dari penjajahan. Tidak boleh terjadi situasi pembodohan, pengabaian, dan pembiaran dari penguasa terhadap rakyatnya sendiri untuk mampu berpikir dan bertindak kritis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline