Lihat ke Halaman Asli

Okti Nur Risanti

Content writer

Mau Mengkritik Atau Merundung?

Diperbarui: 8 Juli 2021   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi photo (foto dari Freepik.com)

Akhir-akhir ini, ada satu berita yang menggelitik pemikiran, yaitu berita tentang kritikan BEM UI terhadap Presiden Jokowi. Melalui unggahan di akun resmi Instagram mereka, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengunggah poster Presiden dengan caption "Jokowi: The King of Lip Service". Isi kritikan tersebut terkait dengan janji-janji Presiden dalam isu revisi UU ITE, penguatan KPK, serta janji-janji lainnya yang dianggap tidak selaras dengan realita. Perlu diketahui, sebelumnya BEM UGM juga memberikan kritik terhadap Presiden Jokowi dalam akun media sosial mereka, tetapi tidak menuai banyak pemberitaan.

Nah, beda cerita dengan kritikan BEM UI. Berita tentang hal itu menjadi semakin besar setelah BEM UI dipanggil oleh pihak rektorat UI sebagai akibat dari postingannya. Banyak pihak kemudian mengecam atau menyuarakan keberatan terhadap pemanggilan tersebut yang dipandang sebagai cara untuk membungkam kebebasan bersuara mahasiswa. Tentu saja, isu kemudian melebar menjadi isu politik. Namun, kemarin ((29 Juni 2021), Presiden Jokowi sudah memberi tanggapan melalui video yang diunggah melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden serta dalam akun Instagram Presiden sendiri. Dengan gaya santainya, Presiden Jokowi menyatakan bahwa mahasiswa sah-sah saja memberi kritik dan pihak Universitas tidak perlu menghalangi ekspresi berpendapat mahasiswa.

Sampai di sini, saya merasa tidak perlu lagi membahas lebih dalam tentang persoalan tersebut. Kritik diberikan, dan Presiden dapat menerima dengan wajar. That's sounds ok. Begitulah seharusnya demokrasi. Titik.

Tapi, tentu saja tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyoroti berita di atas. Terlepas dari sana, saya sesungguhnya lebih tertarik pada persoalan tentang pada bagaimana cara kita memberi kritik, yang dipicu dari berita kritik-mengkritik Presiden seperti tersebut di atas.

Pertanyaan saya, sudahkah kita mampu memberi kritik dengan baik dan benar?

Melihat fenomena yang ada saat ini, kita bisa melihat bahwa kritik-kritik yang berseliweran di media berita atau media sosial, baik terhadap pemerintah, public figure, artis, penyanyi, pejabat, siapa pun, sangat bernuansa bullying. Tentu kita tidak sepakat jika kritik disebut sebagai bullying atau perundungan. Sayangnya, justru itulah yang semakin mengemuka dan tampak jelas di media sosial. Banyak orang -- atau kalau saya boleh bilang, masyarakat kita -- tampaknya senang mengkritik dengan cara merundung atau mempermalukan seseorang.

Dari KBBI sendiri, kritik sesungguhnya didefinisikan sebagai: "kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.". Dari sana jelas dapat dipahami bahwa meski dapat bersifat mengecam atau bernada keras, kritik tidak dimaksudkan untuk mempermalukan seseorang. Kritik, idealnya dan pada dasarnya, adalah cara untuk memberitahukan pihak lain agar sesuatu dapat ditangani menjadi lebih baik.

Masih dari KBBI, rundung atau merundung didefinisikan sebagai: "mengganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan; menimpa ; menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong".

Dari kedua definisi tersebut kita bisa melihat ada perbedaan mendasar antara memberi kritik atau merundung. Yang satu bertujuan positif, untuk membangun, meningkatkan, membuat sesuatu menjadi lebih baik. Sementara itu, pada sisi lain, merundung bersifat negatif dan jelas bertujuan untuk menyakiti atau menjatuhkan pihak lain. Sayangnya, banyak orang tampaknya masih belum bisa membedakan atau bahkan tahu perbedaan antara mengkritik dan merundung. Banyak yang masih memberi kritik dengan cara menjatuhkan, mempermalukan, merendahkan, atau menghina pihak lain. Mau tahu faktanya? Lihat saja di media sosial.

Saya rasa, kita tidak perlu lagi diajari tentang cara memberi kritik yang benar. Dan, kita semua pasti juga tahu bahwa di-bully atau dirundung itu tidak enak rasanya, apalagi di muka umum, meski itu dalam platform media sosial. Seperti kata salah satu judul konten video di Youtube "Kita berperilaku di media sosial seakan-akan kita nggak di depan orang itu." Betul sekali. Coba saja jika mereka berhadapan langsung dengan pribadi yang dikritik (baca: dirundung), beranikah para perundung (yang mungkin berpikir sedang memberi kritik) itu mengatakan apa yang mereka katakan dalam komentar atau dalam postingan mereka? Tentu tidak. Jika begitu, maka kita mungkin perlu prihatin dengan fakta bahwa masyarakat kita banyak yang bermental pengecut, bahkan mungkin pecundang.

Dalam ajaran iman saya ada The Golden Rule atau aturan emas yang berlaku universal, "Karena itu, segala sesuatu yang kamu ingin orang lakukan kepadamu, demikian juga kamu lakukan kepada mereka ..." Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak kita ingin orang lain perlakukan kepada kita. Jangan merendahkan, karena kita sudah pasti tidak suka direndahkan. Jangan mempermalukan, berkata jahat, menghina, menjatuhkan, merundung karena sudah pasti kita juga tidak ingin menerima perlakuan tersebut dari orang lain. Lagipula, konten dan komentar yang kita keluarkan melalui kritik relatif mendefinisikan karakter dan kecerdasan kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline