Lihat ke Halaman Asli

Okti Nur Risanti

Content writer

Sinetron? Sudah Lupa Tuh

Diperbarui: 13 Maret 2020   06:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi YouTube (NordWood Themes, Unsplash)

Judul di atas bukan dibuat dengan niat untuk merendahkan. Kritik mungkin, sesuai dengan arus perkembangan zaman.

Entah dengan yang lain, tapi saat ini, saya merasa melihat konten-konten YouTube jauh lebih menghibur dan bahkan lebih edukatif dibanding menyaksikan sinetron-sinetron atau banyak program acara kita di televisi. Dan, ini bukan hanya karena konteks perubahan media, tetapi juga pada mutu dan kualitas sinetron kita.

Dulu, sebelum YouTube dan vlog marak, saya sudah malas menyaksikan sinetron. Mengapa? Yah, malas saja disuguhi dengan cerita yang tidak masuk akal, dramatis berlebihan, lebay, tidak natural, diulur-ulur tak jelas sampai ratusan episode atau banyak jilid, maksa, dan yang terutama tidak inspiratif. Tidak usah dijelaskan panjang lebar lagi lah ya. 

Semua juga sudah tahu bagaimana wajah sinetron kita. Yang paling bikin sebal adalah jalan ceritanya yang tidak jauh dari penindasan berkepanjangan, melow dan penuh tangisan, alur yang serba kebetulan tapi tidak masuk akal, make up yang selalu tampak seperti mau kondangan, ekspresi yang sering kali kaku atau lebay, plus kualitas akting pemainnya yang sering kurang memadai dan tidak natural. Mungkin, yang lumayan menghibur adalah wajah-wajah pemainnya, yang biasanya putih, mancung, blasteran, dan enak dipandang. Eh, tapi, bukannya kalau nonton sinetron harusnya kita menikmati jalan ceritanya, bukan wajah pemainnya?

Bukan berarti semua mutu sinetron kita buruk loh. Mungkin (saya tidak tahu pastinya, karena saya sudah lama tidak nonton sinetron), masih ada beberapa sinetron yang cukup lumayan dan inspiratif. Tapi, sepertinya jumlahnya sedikit, dan mungkin justru tidak populer untuk jadi favorit masyarakat. Jadi, masalahnya di mana sih, penontonnya atau pembuat sinetronnya?

Memang, masih ada alternatif hiburan lain di televisi, apalagi dari siaran televisi berbayar. Tetapi, sering kali konten-konten dari barat banyak berbau seks, kekerasan, dan nilai-nilai yang tidak terlalu nyambung dengan kerohanian, budaya, atau kehidupan kita. Untung, ada drama Korea dari sesama rumpun Asia, sehingga saya bisa tetap mendapat hiburan dari acara televisi, yang masih lebih relate dan nyambung dengan nilai-nilai kita.

Tidak semua drakor itu bagus dan punya jalan cerita yang menarik juga sih. Namun, hampir semua drakor yang saya ikuti, bagus tuh. Baik dari segi jalan cerita, alur yang tidak maksa dan masuk akal, akting pemain dan setting yang natural, gambar yang enak dilihat, soundtrack yang enak didengar, selera humor yang cerdas dan menyenangkan, dan yang paling keren adalah ide cerita dari satu drakor ke drakor lain yang sangat bervariasi. Tidak dimungkiri, tema di seputar cinta, konflik, dan kecantikan/ketampanan pemainnya masih menjadi daya tarik utama dalam drakor. 

Namun, itu semua terasa masuk akal dan bisa diterima dengan mutu yang ditawarkan dari tiap cerita dan episode. Tak jarang, kita juga menjadi terinspirasi dengan budaya, etos kerja, pesan moral, bahkan dengan optimisme hidup yang disampaikan, meski sebenarnya tidak bersifat harafiah atau sengaja ditonjolkan dengan lebay. Ah, asik deh pokoknya kalo nonton drakor. Bikin ketagihan.

Nah, tapi semenjak YouTube menjadi marak dengan konten vlog dan video-video dari para YouTuber yang kreatif, tontonan saya juga mulai berubah. Berbagai jenis vlog dan video YouTube kini menjadi konten yang saya tonton hampir setiap hari. Mulai dari vlog tentang desain rumah dan ruangan, TED, wisata, daily life, bersih-bersih, gaya hidup, DIY, masak-masak, tips, atau bahkan vlog dari orang-orang Indonesia yang menikah dengan orang asing dan menceritakan kehidupan mereka di negeri orang. Meski sering kali vloggernya tidak menampakkan diri atau wajah (seperti kebanyakan vlogger Jepang atau Korea), tidak berwajah cantik/ganteng atau berpenampilan menarik, bersikap spontan, konyol, apa adanya, bahkan beberapa vlogger kurang mahir dalam mengambil gambar atau dalam proses editing, tapi enak saja menyaksikan konten-konten mereka.

Tampaknya, bukan saya saja yang berpendapat demikian, tapi banyak orang. Ini terlihat dari jumlah subscriber, viewer, atau bahkan keadaan langsung yang bisa kita lihat sehari-hari. Semakin jarang orang melihat televisi atau acara televisi saat ini. 

Tak heran, kalau banyak artis atau pesohor kita pun sekarang ramai-ramai terjun membuat vlog. Bukan saja dalam rangka mempertahankan popularitas, tetapi juga untuk mengeruk penghasilan yang lumayan besar dari sana. Kalau sudah begini, lagi-lagi muncul problem yang saya rasakan saat menyaksikan sinetron. Nama, tampang, dan popularitas jadi modal utama, bukan ide, kreativitas, kualitas, dan isi konten.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline