Lihat ke Halaman Asli

Hati-Hati dengan ‘ISIS’ KEPRI!

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika masyarakat selama ini mengenal ISIS sebagai jaringan kelompok extrimis-radikal yang ingin mendirikan negara Islam, maka kali ini konotasinya sungguh berbeda. Ini hanya terjadi di Provinsi Kepulauan Riau khususnya dalam dua bulan terakhir. Aktornya pun hanya terbatas pada kalangan PNS atau pejabat yang bertugas di lingkungan provinsi.

Awalnya, mereka bekerja dengan tekun dan penuh kebersamaan. Dengan semangat “Berpancang Amanah Bersauh Marwah” mereka hanya fokus pada tugas mulya melayani masyarakat. Tak ada blok kiri atau kanan, gerbong merah, kuning, putih, biru atau abu-abu. Semuanya menggumpal jadi satu ikatan cinta di bawah garis pengabdian.

Berkat kebersamaan itu, pemerintah Kepulauan Riau sering mendapat pernghargaan. Macam rupa penghargaan mulai dari penghargaan pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) sampai predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) empat kali berturut-turut (2010-2014) dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Namun kini, mendekati pelaksanaan Pilkada Provinsi Kepri, kebersamaan itu mulai pudar. Penyebanya, mereka getir dengan jabatan andai saja mereka tidak terlihat mendukung calon yang kemungkinan terpilih. Akibatnya, dalam beberapa kesempatan mereka tertangkap nyata tunduk dengan perintah informal salah satu (bakal) calon, meski taruhannya mereka harus melalaikan tugas dan kewajibannya.

Dalam beberapa kesempatan, mereka yang terdiri dari beberapa kepala dinas, kepala badan dan biro itu sengaja mangkir dari pertemuan penting bersama gubernur Kepri. Bahkan baru-baru ini, saat rapat paripurna pembacaan laporan akhir panitia khusus (Pansus) Ranperda RPPL sekaligus persetujuan DPRD Kepri, hanya sebagian saja yang kelihatan batang hidungnya. Dari 43 satuan kerja perangkat daerah, kepala dinas, badan dan biro yang hadir hanya tujuh orang saja.

Ingkar Sani Ikut Soerya

Rupanya, gejala ISIS (Ingkar Sani Ikut Soerya) sudah berhembus kencang di kalangan kepala dinas. Mereka tak ragu-ragu mengambil sikap politis itu walaupun peraturan melarang, dan Sani jelas-jelas masih menjabat sebagai gubernur yang mestinya diikuti.

Gejala semacam itu rasanya tidak mungkin terjadi kalau tidak ada tekanan yang kuat dan dahsyat dari penguasa yang berkepentingan. Dibutuhkan kekuatan luar biasa disertai ancaman yang super serius dan bahaya untuk mengondisikan mereka. Cara-cara premanisme jauh lebih mempan ketimbang cara bijak, sopan dan lembut yang bertumpu pada nurani dan akal sehat. 

Memang, sesuai predikasi lembaga survei, Pilkada Kepri akan diikuti oleh dua calon incumbent yang sama-sama kuat: Muhammad Sani dan Soerya Respationo. Sani saat ini menjabat sebagai gubernur Kepri sedangkan Soerya menjabat Wakil Gubernur Kepri. Dulu keduanya merupakan pasangan yang kemudian dipastikan bercerai pada Pilkada Kepri 2015.

Secara karakter, keduanya jauh berbeda satu sama lain. Sani dikenal sebagai pemimpin yang lebih mengutamakan cara-cara persuasif dalam menyelesaikan persoalan. Berdialog dengan masyarakat, mendengarkan berbagai masukan atau keluhan dan mengedepankan kearifan lokal. Sementara Soerya dikenal sebagai pemimpin yang lebih suka menunjukkan power (kekuatan/kekuasaan) ketimbang cara-cara lainnya.

Walaupun Soerya hanya seorang wakil gubernur, namun ia selalu berkehendak menancapkan kekuasaannya melebihi seorang gubernur. Untungnya, ini hanya terjadi pada pengendalian sebagian bisnis (lapak) dan orang (PNS), tidak sampai pada level kebijakan. Kondisi ini sekaligus berbeda dengan Sani yang sangat hati-hati menggunakan kekuasaannya. Bisa dikatakan, Sani adalah penguasa yang tak menggunakan baju kekuasaannya dalam berinteraksi dengan masyarakat dan jajaran bawahannya.

Saya hanya berharap, melalui tulisan ini, para kepala dinas, badan dan biro menginsyafi sikapnya. Bukan apa-apa, sayang rasanya jika prestasi yang mereka torehkan sebelumnya ternodasi hanya karena takut pada penguasa. Padahal mereka mafhum bahwa patokan kerja mereka bukan perintah informal atasa, tetapi intruksi yang berdasar pada undang-undang.

Selain itu dengan sikap mereka, dikhawatirkan pelayanan masyarakat terbengkalai. Apa jadinya jika perangkat daerah malas-malasan bekerja, pilah-pilih orang dalam memberikan layanan? Saya yakin, mesin birokrasi tidak akan sehat bahkan bisa mogok di tengah jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline