[caption id="attachment_381703" align="aligncenter" width="404" caption="HM Sani (Photo: riaukepri.com), Soerya Respationo (Photo:tanjungpinangpos.co.id)"][/caption]
Geliat politik menuju pemilihan kepala daerah gubernur dan wakil gubernur Provinsi Kepulauan Riau mulai terbaca aromanya. Pergerakan arah mata angin, isu maupun parpol, tetap tertuju pada dua nama yang disebut-sebut menjadi calon kuat: HM Sani dan HM Soerya. Keduanya menjadi poros edar berbagai kekuatan politik lokal, setidaknya, hingga satu bulan jelang dimulainya tahapan Pilkada.
Di satu poros, HM Sani selaku incumbent dan tokoh birokrat mulai gencar didekati partai politik. Komunikasi politik terlihat intens dilakukan dengan elit partai semisal Partai Demokrat, PPP, Partai Gerindra, dan PAN. Meski rekomendasi resmi belum dikeluarkan, tetapi sinyal dukungan partai tersebut cukup kuat. Bahkan khusus PPP, Muswil DPW Kepri beberapa waktu lalu di Batam seolah meneguhkan dukungan itu.
Di poros lain, HM Soerya sebagai Ketua DPD PDIP Kepri sebenarnya sudah punya tiket mengikuti kontestasi Pilkada. Perolehan kursi PDIP pada pemilihan legislatif 2014 cukup memenuhi kuota 20 persen. Meski begitu, ada tiga partai yang diperkirakan bakal merapat, yakni Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Golkar. Sementara PKB dan PKS belum nampak condong ke salah satu nama.
Diperkirakan akan terjadi pertarungan sengit antar keduanya dengan kekuatan yang relatif berimbang. Terlebih bila dibaca dalam konteks dukungan di tingkat akar rumput. Prediksi beberapa hasil survei menempatkan keduanya di pentas dukungan yang sama-sama kuat.
‘Yazdan’ dan ‘Ahriman’
Terlepas dari persoalan dukung-mendukung, ada hal yang lebih penting dibicarakan. Ini terkait dengan tujuan diterapkannya Pilkada dalam konteks otonomi daerah. Salah satu tujuan diterapkannya Pilkada adalah untuk mewujudkan tujuan dasar desentalisasi, yaitu pembentukan pemerintahan lokal yang demokratis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pilkada diyakini sebagai syarat penting lahirnya pemerintahan yang akuntabel dan responsif sehingga kesejahteraan masyarakat mudah dicapai.
Namun, layaknya persoalan dalam demokrasi langsung, diterapkannya Pilkada tak serta merta berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Ada dua faktor yang sangat menentukan, yaitu kualitas pemilih dan kualitas pemimpin yang lahir dari proses pemilihan langsung. Dua faktor inilah yang menjadi kunci sukses atau tidaknya penerapan Pilkada, termasuk pemilihan gubernur Kepri.
Pertama, kualitas pemilih. Sudah ribuan tahun lalu filosof Yunani, Plato, mengingatkan kita tentang bahaya demokrasi. Bahwa dalam demokrasi, perilaku pemilih menentukan kualitas yang dipilih. Jika masyarakat Kepri memilih calon pemimpin yang jujur, bersih, santun, berpengalaman, cinta dan peduli pada rakyatnya, maka pemimpin yang lahir pasti berkualitas. Pemimpin demikian akan membawa berkah berupa kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sebaliknya, jika masyarakat Kepri di Pilkada nanti memilih calon pemimpin yang tidak jujur, tidak peduli pada rakyatnya, lebih berpihak pada golongan atau kroninya ketimbang rakyat kecil (wong cilik), arogan dan sombong, maka pemimpin yang lahir akan membahayakan kehidupan sesama. Pemimpin macam itu pasti membawa banyak mudharat bahkan musibah bagi masyarakat, agama dan bangsa.
Tentunya, masyarakat Kepri sudah dapat memilah mana calon pemimpin yang berkualitas, dari segi moral dan kepemimpinan, antara HM Sani dan HM Soerya. Tidak sulit membedakannya karena latar belakang dan karakter keduanya mudah ditelusuri dalam perilaku sehari-hari, dari karya pemikiran, ceramah/pidato serta peristiwa-peristiwa di masa lalu.
Mudahnya membuat perbedaan itu semudah membedakan dua kutub nilai yang berlaku dalam sistem jagad raya sebagamana dalam pemahaman Zoroaster. Di satu kutub ada yazdan (kebaikan), di kutub lain ada ahriman (kejahatan). Keduanya merupakan kekuatan yang saling bertarung: antara kebaikan dan kejahatan, keadilan dan kezaliman serta antara cahaya terang dan kegelapan. Dan, kita tidak pernah sulit bedakan keduanya melalui akal budi dan hati nurani.
Dalam bayak literatur, pasukan ahriman (angra mainyu) dengan sekuat tenaga berupaya mengalahkan pasukan yazdan (spenta mainyu). Namun akhirnya, kebaikan dan kebenaran jugalah yang nantinya menang.
Kedua, kualitas pemimpin. Suksesnya Pilkada tidak hanya diukur dari proses pelaksanaannya. Lebih dari itu, bagaimana pemimpin yang lahir benar-benar berkualitas, tunduk dan patuh pada kesepakatan bersama (konsensus), berkomitmen terhadap pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat.
Apalah arti Pilkada bila hanya sekadar rotasi kekuasaan. Apa pula makna Pilkada jika hanya ingin menghancurkan yang baik yang sudah ada. Kita tidak berharap masyarakat Kepri yang rukun, hidup damai antar sesama dikorbankan oleh kepentingan segelintir orang. Yang kita harapakan adalah Kepri yang lebih maju dengan pemimpin yang mengayomi masyarakatnya, bukan membentak-bentak mereka apalagi mengajak duel hanya karena membela kelompok kepentingannya.
Akhirnya, hanya dengan menjadi pemilih cerdas kita bisa menghasilkan pemimpin berkualitas untuk Kepri. Dan, hanya dengan pemimpin yang berkualitas tujuan dari desentralisasi yang menjadi harapan semua kita dapat terealisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H