Lihat ke Halaman Asli

AC Oktavia

Belajar peduli

Saya Haus Panutan!

Diperbarui: 17 November 2019   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertahun-tahun menjadi seorang fans kpop, saya meluangkan waktu untuk menelaah alasan saya terjebak di dunia kpop. Setelah pergumulan yang cukup panjang, saya menemukan beberapa jawaban. Salah satunya ternyata... saya haus panutan.

Saya mulai mengenal dunia kpop pada masa-masa SMA, dan benar-benar tenggelam di dalamnya di masa kuliah saya. Waktu-waktu tersebut selalu saya anggap sebagai masa yang aneh. Di satu sisi banyak tanggung jawab yang dibebankan pada saya, tuntutan untuk menjadi dewasa dan tidak bersikap kekanakan lagi. Sedangkan di sisi lain, ketika saya ingin berpendapat atau bertindak saya selalu dianggap masih bocah dan tidak tahu apa-apa. Pada masa peralihan inilah saya banyak mendapatkan tekanan namun tanpa arahan.

Ketika saya membuka mata dan melihat sekeliling saya, saya merasa tidak ada tokoh yang cukup menyenangkan untuk saya jadikan panutan. Setiap kali saya menyalakan TV, saya otomatis merasa bte karena melihat acara-acara gossip tidak bermutu yang diputar hampir setiap saat. Informasi mengenai artis yang disampaikan dalam acara-acara tersebut membuat saya kehilangan respek dan kekaguman saya terhadap puluhan artis Indonesia yang pernah menarik perhatian saya.

Pojok berita pun tidak memberikan perasaan yang lebih baik. Aktor-aktor politik dan pemerintahan selalu ditampilkan bermuka palsu, bermain kotor, ataupun sekedar tidak mumpuni. Belum lagi isi-isi berita yang membuat depresi dan tidak lagi memunculkan harapan bagi kemajuan Indonesia.

Beralih ke telepon genggam, membuka-buka berbagai sosmed, lalu menyadari tidak ada selebgram lokal yang bebas hujatan di kolom komentar. Sepertinya seluruh selebgram dan vloggers yang "punya nama" selalu memiliki skandal atau kontroversi yang membuat mereka terkenal dan membuat saya kehilangan minat mengikuti mereka.

Keluarga saya bahkan tidak lagi masuk dalam daftar tokoh potensial saya, karena saya terlanjur muak dengan kecenderungan mereka memberi tekanan via ekspektasi terhadap saya. Maklum, saya cucu pertama dari dua belah pihak keluarga, tentu saja saya yang akan menjadi tolak ukur bagi seluruh adik dan sepupu saya.

Kekecewaan inilah yang akhirnya mendorong saya memalingkan muka kepada artis-artis KPOP. Di umur yang tidak jauh berbeda, mereka berhasil meraih kesuksesan bermodalkan kerja keras. Apalagi pada umumnya idola KPOP bebas skandal dan tidak pernah berperilaku jelek, paling tidak di depan media. Belum lagi banyaknya idol KPOP yang ikut bergerak di berbagai donasi dan gerakan sosial. Bagaimana saya tidak terpesona?

Selain image mereka yang memang dijaga tanpa cela, model hubungan idola-penggemar yang merupakan bagian besar dari budaya KPOP menjadi oase di tengah kegalauan umur nanggung saya. Tanpa banyak tuntutan kepada penggemar, idola saya justru banyak memberikan semangat dan dorongan yang saya butuhkan untuk menjalankan hari-hari saya. Lewat berbagai media dan lagu yang mereka bawakan, saya mendapatkan penghiburan atas kegagalan, dan penyemangat dalam perjuangan. Sebuah panutan dalam mengejar mimpi saya sendiri, dan kesuksesan versi saya.

Hal ini akhirnya membawa saya dan, saya yakin, jutaan penggemar kpop lainnya untuk akhirnya mengikuti nilai-nilai yang dianut idola saya, alih-alih nilai yang diajarkan oleh keluarga dan masyarakat saya sejak kecil. Tentu saja nilai-nilai ini seringkali tidak sesuai dengan nilai yang awalnya saya miliki, baik nilai-nilai sederhana seperti dalam berpakaian, hingga nilai yang kompleks mengenai kebebasan berekspresi dan agama.

Tidak heran juga nilai-nilai "baru" inilah yang akhirnya memikat dan memenangkan generasi muda seperti saya. Toh, nilai-nilai ini dianggap terbukti membawa keberhasilan dan kesuksesan bagi para idola. Nilai-nilai yang lahir dari akar budaya seringkali dianggap tidak lagi relevan untuk kehidupan generasi muda sekarang.

Salahkah pemikiran ini, saat tidak ada lagi tokoh keren yang berakar dari budaya kita sendiri?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline