Polri pernah sekali mengatakan jika hoax adalah informasi yang dibuat oleh orang pintar tetapi jahat, dan disebar oleh orang baik tapi bodoh. Terlepas setujunya saya dari pernyataan tersebut, terlalu banal jika kita melihatnya dari sisi denotatif. Pada satu sisi, saya setuju karena Indonesia sebagai pengguna media sosial masih tergolong prematur, belum dewasa, dan perlu banyak bimbingan karena tidak adanya literasi yang memadai bagi masyarakat pada umumnya untuk mengolah dan mencerna informasi yang ada di dunia maya.
Namun, pada sisi lain saya merasa pintar dan bodoh tidak hanya berasal dari segi intelektualitas. Tomas Stahl, seorang sosiolog pernah melakukan eksperimen terkait hoax dan menunjukkan hasil jika semakin cerdas seseorang belum tentu relevan dengan kemampuannya menyeleksi informasi.
Saya mengasumsikan hoax hanya berkembang dalam gelembung-gelembung tertentu seperti yang disebutkan Eli Pariser, karena penyebaran hoax layaknya klasifikasi dalam sebuah algoritma mesin pencari, yang hanya muncul sesuai dengan apa yang diinginkan oleh sang pencari.
Pada konteks ini, bisa dipastikan jika persebaran hoax bermula pada sekelompok pemikiran tertentu, tapi tidak pada sekelompok pemikiran yang lain meski kemudian pemikiran tersebut memaksa masuk pada lingkaran pemikiran yang lain. Tanpa adanya penetrasi dari pemikiran kelompok yang menyebarkan informasi terkait, hoax sebenarnya dapat diredam.
Sayangnya, kembali seperti yang dinyatakan oleh Polri, penyebar informasi hoax adalah orang yang cenderung pintar tetapi jahat karena mampu menyeleksi informasi sesuai dengan kepentingannya, sementara yang menerima adalah orang-orang yang terjebak dalam pemikiran mereka, yang kemudian memaksa orang lain untuk menerima jalan pikiran mereka.
Jika bicara tentang bagaimana menanggulangi hoax tentu saja beragam. Sejumlah radio komunitas di Amerika pernah memiliki komitmen untuk memerangi hoax akibat persebaran berita hoax yang dianggap nyata, meski awalnya hanya bahan bercanda dari penyebar informasi tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?
Saya menitikberatkan permasalahan hoax yang menjamur di Indonesia salah satunya akibat permainan politik yang tidak sehat. Tentu, segala polemik yang terjadi terkait hoax belakangan ini tidak luput dari pengaruh politik terlebih dengan gencarnya penetrasi politik akibat Pilkada dan Pemilu yang diadakan berurutan hingga 2019 nanti.
Hoaxnya pun meliputi banyak dimensi, mulai dari petahana hingga calon-calon baru yang akan bertarung di panggung politik Indonesia hingga satu tahun kedepan. Terlepas dari politik sebagai panggung dan kepentingan masing-masing aktor di dalamnya, tetapi akan tidak etis apabila para elit politik ini menggunakan hoax sebagai sumber utama mereka dalam meraup elektabilitas dan menjaga stabilitas panggung mereka di Indonesia, seperti yang dirumorkan belakangan ini kepada masing-masing politisi dengan latar belakang koalisinya masing-masing.
Jika saya menjadi Menag, hal utama yang akan saya sosialisasikan dalam melakukan perubahan di Indonesia adalah dengan meningkatkan kualitas komunikasi politik yang dilakukan oleh para elit politik untuk meningkatkan elektabilitasnya di masyarakat. Bagi saya, politik partisipatoris pada era sekarang jauh lebih menarik untuk dijadikan contoh bagaimana berpolitik yang baik dibandingkan dengan politik konservatif yang ada saat ini.
Elektabilitas yang dibangun haruslah berdasar pada permainan politik yang bersih, bukan lagi politik yang menyerang titik lemah lawan yang berpotensi merusak kerukunan antarumat beragama.
Hal ini menjadi buruk karena politik, terutama dalam pemilihan tidak lagi berdasar pada kapabilitas dan visi misi yang dibawa secara jelas, melainkan berdasar pada sentiment pribadi terkait sebuah isu yang dikuatkan melalui komunikasi politik yang negatif.